Senin 15 Oct 2018 15:49 WIB

Donald Trump: Saya Merasa Sangat Nyaman Jadi Presiden

Trump menyatakan panggung politik lebih keras dibanding bisnis.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers di New York pada Kamis (26/9) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Mary Altaffer
Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers di New York pada Kamis (26/9) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku merasa nyaman berada di Gedung Putih sebagai presiden selama dua tahun ini. Ia menikmati perannya meski harus menghadapi banyak pertempuran politik terkait imigrasi, tarif, dan pencalonan Hakim Mahkamah Agung Brett Kavanaugh.

Trump mengatakan ia telah menemukan bahwa panggung politik Washington bahkan lebih keras daripada dunia bisnis.

"Washington, D.C. adalah tempat yang ganas dan kejam: serangan-serangan, orang-orang yang berbicara buruk di belakang Anda. Tetapi Anda tahu, dan dengan cara saya, saya merasa sangat nyaman di sini," kata dia, saat diwawancara dalam program berita televisi CBS 60 Minutes.

"Agak sedikit sulit mengatakan saya adalah presiden Amerika Serikat, tapi saya pikir itu benar bagi semua orang," ujar Trump.

"Bahkan teman-teman saya, mereka tidak memanggil saya Donald, mereka memanggil saya Presiden. Dan saya berkata, 'Maukah kalian melonggarkannya?' Saya telah mempelajari tentang pekerjaan saya. Saya telah melakukannya. Sekarang saya sangat merasa seperti POTUS," kata dia, dengan menggunakan akronim POTUS yang artinya President of The United States.

Wawancara itu tidak menunjukkan tanda Trump memiliki niat untuk meninggalkan kepribadiannya yang bebas sebagai presiden. Dia tidak mengatakan apakah ia akan kembali memberlakukan kebijakannya yang kontroversial, yang memisahkan anak-anak imigran dari keluarga mereka di perbatasan.

"Ketika Anda mengizinkan orang tua untuk tetap bersama anak mereka, ketika Anda mengizinkan itu, maka apa yang terjadi adalah orang-orang itu akan membanjiri negara kita. Harus ada konsekuensinya, karena mereka datang ke negara kita secara ilegal," ujarnya.

Pemisahan keluarga dan penahanan ribuan anak-anak, sebagian besar dari Guatemala, Honduras, dan El Salvador, telah mendorong kecaman luas terhadap kebijakan Trump. Sekitar 2.500 anak-anak dan orang tua mereka telah dipisahkan di perbatasan sebelum Trump menarik kebijakan imigrasinya pada Juni lalu. Beberapa hari kemudian, seorang hakim federal memerintahkan keluarga-keluarga itu bersatu kembali, meski prosesnya tidak mudah.

Baca: Donald Trump Ogah Akui Perubahan Iklim Ulah Manusia

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement