Senin 15 Oct 2018 20:47 WIB

Pendapatan Negara Diproyeksi Naik Rp 10 Triliun

Pemerintah tetap berupaya menjaga defisit anggaran di level 1,84 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10)
Foto: antara/akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengusulkan kurs rupiah terhadap dolar dalam asumsi dasar ekonomi makro 2019 menjadi Rp 15 ribu per dolar AS. Seiring dengan itu, terjadi perubahan dalam proyeksi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang semula menggunakan asumsi nilai tukar Rp 14.500 per dolar AS.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara diproyeksi meningkat Rp 10,3 triliun. Total tersebut didapatkan dari pendapatan PPh migas yang naik Rp 2,2 triliun dan pendapatan dari Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) yang juga naik Rp 8,1 triliun. "Dalam PNBP, ada kenaikan penerimaan SDA migas Rp 6,2 triliun, SDA non migas Rp 1 triliun dan PNBP lainnya Rp 0,9 triliun," ucapnya dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Ruang Rapat Banggar DPR, Jakarta, Senin (15/10).

Sementara itu, Sri menambahkan, proyeksi belanja negara juga mengalami peningkatan, yakni Rp 10,9 triliun. Sebanyak Rp 6,3 triliun di antaranya didapatkan dari subsidi energi, belanja lainnya Rp 2,6 triliun dan dana bagi hasil Rp 2 triliun.

Sri menuturkan, pemerintah tetap berupaya menjaga defisit anggaran di level 1,84 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo. "Untuk mencapai ini, cadangan belanja negara menjadi Rp 14,4 triliun. Cadangan inilah yang kami usulkan antara lain untuk penanggulangan bencana dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terkena bencana di Lombok dan Palu," ucapnya.

Sri menjelaskan, asumsi nilai tukar rupiah di 2019 direvisi berhubungan dengan kenaikan suku bunga Amerika Serikat dan penguatan dolar secara global. Menurutnya, situasi ini mengharuskan pemerintah bersama DPR harus hati-hati dalam menetapkan RAPBN 2019. Sri memastikan, perubahan asumsi ini telah didiskusikan dengan Bank Indonesia (BI).

Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo memprediksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berkisar antara Rp 14.800 sampai Rp 15.200 per dolar AS. Ia juga memperkirakan, ada tren ketidakpastian global yang mengarah pada tren positif.

Salah satu indikator yang membuat Perry menyatakan hal tersebut adalah suku bunga Bank Sentral AS, The Fed. Kenaikan suku bunga diprediksi akan kembali terjadi, tapi dalam kuantitas lebih kecil. "Kalau tahun ini empat kali, tahun depan hanya dua sampai tiga kali," ucapnya.

Selain itu, normalisasi moneter atau pengetatan diprediksi terjadi di Eropa pada paruh kedua tahun 2019. Dengan begitu, euro bisa menguat dan menyeimbangi penguatan dolar. Indikator terakhir, perkembangan baru mengenai ketegangan perang dagang Amerika dengan sejumlah negara yang dinilai Perry mengarah ke perundingan dan perbaikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement