Selasa 16 Oct 2018 23:40 WIB

Sering Dengar Kata Hadhrami, Siapa Mereka? Ini Penjelasannya

Di Hadhramaut, kaum sayyid menjadi kelas sosial dengan kedudukan tertinggi.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa

REPUBLIKA.CO.ID, Sering dengar kata Hadhrami? Siapakah sebenarnya yang disebut dengan Hadrami? Engseng Ho dalam The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility across the Indian Ocean menuturkan seluk beluk masyarakat Hadhramaut. Mereka menamakan dirinya Hadharim (jamak) atau Hadhrami (tunggal).

Silsilahnya diyakini sampai pada Nabi Hud AS. Makamnya dipercaya berada di barat wadi (lembah) Hadhramaut atau sekira 80 km dari Kota Tarim. Komunitas tersebut memiliki tradisi penulisan genealogiyang runtut.

Di samping itu, ziarah ke pekuburan nenek moyang juga menjadi kebiasaan yang lestari. Di antara situs-situs terkemuka adalah, pusara Nabi Saleh AS di Lembah Sarr, makam Nabi Hud AS, Aidid, al-Aidrus, dan Ahmad bin Isa al-Muhajir. 

Berbicara tentang Hadharim tidak lepas dari cabang keturunan Nabi Muhammad SAW yang berkembang di sana. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar mengungkapkan, Ahmad bin Isa (873-956) merupakan leluhur kaum Sayyid (jamak: Saadah). Dari Basrah (Irak), tokoh tersebut datang ke Hadhramaut, melalui Madinah dan Makkah,demi menghindari prahara politik pada 931. 

Sayyid berarti secara harfiah ‘tuan’ tetapi kemudian menjadi gelar untuk keturunan Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW dari garis Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sementara itu, sebutan syarif ditujukan bagi keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Kaum syarif cenderung menyebar di Afrika Utara dan Asia Barat. Beberapa sempat menduduki pemerintahan sebagai gubernur atau raja. Sebagai contoh, penguasa Maroko sekarang, RajaMuhammad VI, berasal dari Dinasti al-‘Alawiyyin al-Filalliyyin yang sampai pada Hasan bin Ali.

Demikian pula dengan Syekh Muhammad bin Alawy al-Maliki (1947/1948-2004), seorang ulama tradisionalis di Makkah. Agak berlainan dengan mereka, kaum sayyid cenderung berdiaspora maritim ke India dan Nusantara. 

Ahmad bin Isa merupakan generasi kedelapan dari keluarga Fatimah dan Ali. Sosok yang berjulukan al-Muhajir itu awalnya kerap mengalami penolakan dari penduduk Hadhramaut.

Namun, perlahan-lahan dakwahnya berhasil sehingga memiliki pengikut untuk mengembangkan ajaran Islam. Masyarakat kemudian tidak hanya mengakuinya sayyid keturunan Rasulullah SAW.Mereka juga mencintainya sebagai figur panutan.

Ahmad al-Muhajir memiliki empat orang putra, yakni Ali, Hussain, Muhammad, dan Ubaidillah. Sang bungsu menyertainya hijrah dari Basrah keHadhramaut. Ubaidillah kemudian punya tiga orang anak, yaitu Alwi, Jadid, dan Basri. Catatan seputar keturunan Jadid dan Basri tidak terdeteksi sejak abad keenam Hijriah.

Hal itu berbeda daripada Alwi sebagai sayyid pertama yang lahir di Hadhramaut. Rekaman genealogisnya terus tercatat bahkan hingga masa kini. Jadilah sayyid keturunan Ahmad al-Muhajir disebut sebagai Ba’Alawi atau Alawiyin.Demikian dipaparkan Nourellyssa dalam memoarnya, My Journey to the Land of Love: Hadramawt-Tarim. 

Di Hadhramaut, kaum sayyid menjadi kelas sosial dengan kedudukan tertinggi. Kalangan ini selalu diminta bantuannya dalam meredakan konflik antarsuku. Strata sosial di bawah mereka adalah masayekh danqabail. Masayekh terdiri atas kaum cendekiawan Muslim di luar kelompok sayyid.

Sebelum kedatangan keluarga Ahmad bin Isa, golongan ini menduduki posisi terpenting di tengah masyarakat setempat, tetapi kemudian tergantikan kaum sayyid. Sementara itu, qabail merujuk pada faksi prajurit yang siap bertempur dengan perintah kepala suku.Kaum pekerja kasar, semisal nelayan dan petani, menduduki posisi terbawah. 

Meskipun secara sosial berkedudukan tinggi, kaum sayyid tidak punya kekuatan politik yang memadai. Mereka hanya dapat bertahan di sana menghindari rupa-rupa prahara, mulai dari konflik antardinasti kecil selama abad ke-13 hingga munculnya Kesultanan Kathiri pada abad ke-16 yang akhirnya dikuasai Inggris.Ketidakstabilan tersebut mendorong mereka atauHadharim umumnya untuk merantau ke pesisir Afrika Timur dan Asia. 

Alasannya berkelana ke luar Hadhramaut tidak hanya lantaran kegentingan politik. Darah pelaut ulung memang mengalir dalam tubuh mereka. Sejak ratusan tahun silam, bangsa Arab akrab dengan jalur maritim yang menghubungkan Laut Tengah, Samudra Hindia, dan Laut Cina Selatan.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara mengutip TW Arnold (1968) yang menyatakan, bangsa Arab telah menguasai perniagaan di Sri Lanka sejak abad kedua SM. Kaum cendekiawan Eropa pun mengakui mereka sebagai perintis globalisasi atau perdagangan dunia. Pengakuan itu antara lain disampaikan orientalis Austria abad ke-19, Aloys Sprenger, sebagaimana dikutip Benedikt Koehler dalam Early Islam and the Birth of Capitalism.  

Dengan demikian, jauh sebelum risalah Islam ada, bangsa Arab berperan penting dalam lalu lintas komersial Asia-Afrika-Eropa. Pada masa wafatnya Rasulullah SAW atau sekitar abad ketujuh, para pelaut Arab mendominasi distribusi rempah-rempah dari pusatnya di Maluku hingga bandar-bandar di Laut Tengah, utamanya Venesia (Italia).

Menurut Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam, mereka tidak hanya membawa semangat berdagang dan berinteraksi dengan penduduk-penduduk lokal, tetapi juga memperkenalkan Islam. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement