REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA -- Warga Palestina banyak yang memberikan reaksi kecewa dan marah atas kemungkinan Australia memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Sementara, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan langkah itu akan memajukan proses perdamaian Israel-Palestina. Namun, Wakil Palestina mengatakan tindakan Australia malah akan menghancurkan proses tersebut.
Pejabat senior Palestina Nabil Shaath mengatakan Morrison tampaknya menggunakan pertimbangan politik jangka pendek dalam negeri guna melakukan kebijakan luar negeri. "Secara politik ini akan menghancurkan harapan akan adanya perdamaian." kata Shaath.
"Ini sama sekali tidak membantu, namun hanya untuk meningkatkan kemungkinan pemerintah menang di Wentworth di Australia."
"Bila kita melakukan model politik ini di Timur Tengah untuk memenangkan pemilihan sela di Australia, maka maafkan saya bisa memiliki pandangan yang negatif terhadap kebijakan pemerintah Australia."
Perseteruan yang terus berlanjut sampai sekarang adalah mengenai status kawasan Yerusalem Timur, bagian dari kota Yerusalem yang dikuasai oleh militer Israel pada 1967. PBB menganggap kawasan itu berada di bawah kekuasaan militer sejak saat itu.
PBB mengecam pembangunan untuk pemukiman di kota tersebut dan atas segala usaha untuk mengubah komposisi demografis seperti memindahkan lebih banyak warga Yahudi ke permukiman yang selama ini ditempati oleh warga keturunan Arab.
Di Silwan, permukiman Arab tidak jauh dari kota lama Yerusalem, di mana selama ini pemukim baru Yahudi dan warga Arab yang sudah lama tinggal di sana, sekarang hidup berdampingan dalam suasana saling mencurigai. Pernyataan dari Australia disambut dengan rasa terkejut, dan kecewa oleh masyarakat di sana.
Jawad Syiam menjalankan Pusat Informasi Wadi Hilweh di Silwan, yang memantau gerakan pemukim Yahudi ke kawasan pemukiman Arab. "Australia selalu memberikan kesan bahwa mereka bersikap netral, yang disambut baik oleh warga Palestina. Tetapi sekarang kami melihat Australia mengikuti jejak setan, Donald Trump."
"Jadi ini adalah keputusan bodoh dari sebuah negara yang ingin menghindar dari kemungkinan adanya serangan, dari segala masalah."
Warga Silwan Sahar Abbasi mengatakan bahwa Australia harus melihat bahwa warga Arab di Yerusalem Timur, yang kebanyakan hanya berstatus 'resident' dan bukannya warga negara penuh Israel, terus menghadapi diskriminasi di sana.
"Jangan lupa ini adalah wilayah yang diduduki, jangan lupa warga yang berada di wilayah yang diduduki, dan mereka adalah warga Palestina dan belakangan ini mereka sama sekali dilupakan, seolah-olah kami tidak ada." kata Abbasi.
Sementara pemerintah Israel menyambut baik komentar PM Morrison, reaksi dari dalam Israel tidaklah banyak. Media Israel malah melaporkan pernyataan pemerintah Australia bahwa Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Mantan diplomat Israel Lior Weintraub, yang sekarang menjadi wakil presiden organisasi advokasi The Israel Project, mengatakan ini adalah masalah sensitif di Israel.
"Mengakui wilayah Barat dan Timur dan mulai berbicara mengenai perbatasan, ini masalah yang sensitif khususnya ketika proses perdamaian sedang mengalami jalan buntu dan tidak ada pembicaraan yang sedang berlangsung."
Israel meloloskan UU pada 1980 yang menyatakan bahwa seluruh kota Yerusalem adalah ibu kota negara itu yang 'menyeluruh dan bersatu. Hal tersebut dikecam oleh Dewan Keamanan PBB yang mengatakan hukum tersebut melanggar resolusi PBB sebelumnya.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini