REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menolak usulan DPR soal saksi partai di pemilu dibiayai oleh negara melalui APBN. Koordinator Nasional (Kornas) JPPR Sunanto menilai usulan alokasi dana APBN untuk dana saksi Pemilu 2019 tidak bisa diterima, karena tidak memiliki basis argumentasi yang kuat.
Sunanto mengatakan, ada beberapa pertimbangan kenapa pembiayaan saksi partai tidak boleh menggunakan APBN. Pertama, ungkap dia, merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2018.
Di mana PP tersebut lahir untuk memenuhi amanat UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), maka sebenarnya negara sudah memberikan alokasi APBN untuk partai politik. "Dari aturan sebelumnya, biaya subsidi untuk parpol justru meningkat," ujar Sunanto yang juga Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini, Rabu (17/10).
Kedua, menurutnya, bila merujuk PP Nomor 1 Tahun 2018 tersebut, bantuan anggaran negara untuk parpol diberikan bagi parpol yang memiliki suara untuk pemilu DPR atau DPRD Provinsi/Kab/Kota. Untuk tingkat pusat per suara dibantu Rp 1.000, provinsi Rp 1.200, dan kabupaten/kota Rp 1.500.
"Sebagai misal di tingkat Pileg DPR RI, PDI Perjuangan memeroleh suara 23.681.471, Partai Golkar 18.432.312 suara, dan Partai Gerindra, 14.760.371 suara. Kalau dikali dengan nilai subdisi, angkanya kan signifikan," kata Sunanto.
Menurut Cak Nanto, panggilan akrabnya, usulan itu hanyalah trik elite partai politik yang menunjukkan adanya situasi yang tidak ideal terkait tata kelola partai politik di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi catatan terkait kritik tata kelola partai politik.
Misalnya, parpol belum berhasil melakukan kaderisasi di internal. Lemahnya kaderisasi membuat kepemilikan terhadap parpol masih rendah. Idealnya anggota parpol memiliki kecintaan yang tinggi terhadap ideologi parpol yang dilihat dari adanya kesukarelaan atau partisipasi aktif dari basis atas agenda parpol.
"Upaya meminta subsisi berupa dana saksi menunjukkan adanya kondisi lemahnya rasa cinta anggota parpol terhadap parpol sendiri," ungkap Cak Nanto.
Persoalan lain soal tata kelola, menurut dia, adalah parpol tidak menjalankan fungsi tata kelola keuangan yang profesional. Pengelolaan keuangan secara terbuka, modern, dan sesuai dengan aturan hukum.
Padahal sumber keuangan partai politik ada tiga, pertama bantuan negara, iuran anggota, dan sumber lain yang sah yang sesuai dengan hukum. Selain dari negara, masih ada dua sumber lainnya.
"Iuran anggota misalnya, dari jumlah anggota yang ada, jika iuran berjalan, maka dana saksi yang mungkin berkisar 100.000 hingga 200.000 tidaklah besar. Namun angka segitu saja, parpol masih minta bantuan negara," jelasnya.
Selain itu, Cak Nanto, juga melihat ada potensi persoalan turunan jika usulan negara membiayai saksi parpol tersebut diterima. Masalahnya adalah siapa yang akan kelola subsisi APBN atas dana saksi tersebut?
Padahal sesuai UU Pemilu No. 7 tahun 2017, lembaga Bawaslu diberi tugas melakukan pelatihan atau bimbingan teknis (bimteks) terhadap saksi. Sedangkan untuk melakukan bimteks itu saja sudah membuat konsentrasi bawaslu terbelah dari tugas lain seperti pencegahan, pengawasan, penindakan dan sengketa pemilu.
"Apalagi jika Bawaslu dibebankan pengelolaan dana saksi," katanya mengingatkan.
Hal yang sama juga untuk KPU. Tanggung jawab penyeleggaraan pemilu saat ini tidak sederhana. Berbagai persiapan teknis pemilu, hingga pelaksanaan menyedot konsentrasi KPU. Maka menurut Sunanto, tidak mungkin dua penyelenggara pemilu itu dibebankan sebagai pengelola dana saksi.
Oleh karena itu, JPPR, ujar Nanto, tegas menolak usulan dana saksi pemilu 2019. Yang paling mungkin dilakukan sebenarnya adalah dana saksi tetap dikembalikan kepada peserta pemilu baik untuk Pilpres, Pileg DPRRI, PRD Provinsi/Kab/Kota, dan DPD RI. Sumber Pembiayaan dana saksi dari peserta pemilu mengacu kepada UU partai politik.