REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan khusus bulan ini guna membahas laporan terkait dugaan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Pertemuan itu diminta oleh sembilan negara anggota Dewan Keamanan, antara lain Prancis, Amerika Serikat (AS), dan Inggris.
Selain Prancis, Inggris, dan AS, terdapat enam negara lain yang meminta diadakannya pertemuan membahas laporan tentang dugaan genosida terhadap etnis Rohingya yang dirilis Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB. Enam negara itu adalah Belanda, Swedia, Polandia, Peru, Kuwait, dan Pantai Gading.
Menurut beberapa diplomat di PBB, dalam pertemuan itu, Dewan Keamanan akan mengundang dan meminta ketua Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB memaparkan secara singkat laporannya. Kendati demikian, langkah itu tampaknya akan mendapat penentangan dari Rusia dan Cina.
Perjuangan Anak Perempuan Rohingya Demi Bisa Sekolah
Menurut para diplomat, kedua negara tersebut meyakini temuan Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB pertama-tama harus ditangani Komite Ketiga Majelis Umum PBB yang berurusan dengan hak asasi manusia (HAM).
Namun Cina dan Rusia memang tidak dapat memblokir pengarahan atau penjelasan yang disampaikan ketua Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB. Sebab sebelumnya ke-15 anggota Dewan Keamanan telah menyetujui dibentuknya tim independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya.
Suu Kyi Janji Bersikap Transparan Selesaikan Kasus Rohingya
Duta Besar Myanmar untuk PBB Hau Do Suan, pada Selasa (16/10), telah menulis surat kepada Dewan Keamanan. Dalam surat itu ia menyatakan menolak ketua Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB diundang untuk memberi penjelasan terkait laporannya.
Menurutnya, langkah itu hanya memperburuk ketidakpercayaan dan polarisasi di antara komunitas-komunitas yang tinggal di negara bagian Rakhine. “Menempatkan akuntabilitas di atas segalanya tanpa memperhatikan perkembangan positif lainnya adalah upaya berbahaya yang akan menghadapi kegagalan total,” kata Hau Do Suan dalam suratnya.
“Langkah-langkah koersif unilateral tanpa memperhatikan situasi di Myanmar dan pengenaan tekanan eksternal yang bermotif politik akan merugikan niat dan kerja sama yang baik dari Pemerintah Myanmar dengan masyarakat internasional,” ujar Hau Do Suan menambahkan.
Pada akhir Agustus lalu, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.
Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dalam laporan tersebut, Dewan Keamanan pun diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.