REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara menggelar Festival Tenun Nusantara pada 13 Oktober 2018 hingga 17 Oktober 2018. Salah satu kegiatan dalam festival tersebut adalah Simposium Nasional Tenun Nusantara yang dilaksanakan pada Senin (15/10).
Acara ini selenggarakan di Sopo Partukkoan, Tarutung dan dihadiri oleh lebih dari 300 orang peserta. Peserta yang mengikuti simposium ini mayoritas adalah para penenun di sekitar Tapanuli Utara, seperti dari Tarutung, Siatas Barita dan Sipoholon.
Simposium ini diisi oleh narasumber dengan latar belakang antropolog, akademis dan praktisi. Para narasumber tersebut akan mengenalkan sejarah peradaban tenun kepada penenun dengan tujuan agar penenun semakin bangga atas hasil karya yang ditenunnya.
"Ketika seorang penenun mengerjakan proses bertenun untuk mengerjakan sehelai kain, pasti ada nilai tertentu yang ingin disampaikan. Apakah itu melalui motif, warna atau fungsi dari Ulos itu akan digunakan pada upacara adat," kata Direktur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Direktorat Jendral Kebudayaan, Christiyati Ariani, pada pidato pembukanya.
Di dalam simposium ini, hadir Ketua Dekranasda Tapanuli Utara, Satika Simamora. Pada kesempatan itu, ia mengajak seluruh penenun untuk lebih terbuka pada keinginan pasar. Ia juga menceritakan betapa sulitnya mengajak penenun untuk mau mengubah penggunaan benang pada kain tenun.
Satika mengatakan, pasar tidak tertarik dengan kain yang ditenun dengan benang kasar karena tidak nyaman ketika dikenakan. Tiga tahun terakhir, penenun di daerah Muara sudah mulai beralih kepada benang halus yang harga jual nya lebih baik.
"Setelah memperkenalkan benang halus, tahun ini saya akan fokuskan kembali ke pewarna alam, karena kain yang ditenun dengan pewarna alam lebih diminati pasar," kata Satika.
Sementara itu, antropolog Mitu M. Prie menjelaskan bahwa tenun adalah peradaban nusantara yang paling tua. Danau Toba merupakan poros peradaban kebudayaan nusantara di bagian barat.
"Jika dilihat dari peninggalan sarkofagus dan menhir di Tomok, Samosir akan berhubungan dengan budaya megalitik 5000 tahun yang lalu bahkan 1000 SM. Selain Toba, ada juga di Nias, Mentawai, Dayak, Toraja dan Sumba," kata Mitu.
Mitu mengatakan, kerajinan tenun oleh masyarakat Batak membuat seluruh dunia kagum. Pasalnya, pada masa kini masyarakat setempat masih terus melestarikan kerajinan kain tenun dan menggunakannya dalam beragam upacara adat.
"Dunia terkagum-kagum dengan tenun nusantara karena di abad 21, masih ada suku di Nusantara yang menuangkan simbol kebudayaan menjadi motif pada kain tenun," kata dia.