REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lippo Group terancam dikenakan pidana korporasi karena direktur operasionalnya, Billy Sindoro, berperan sebagai pemberi suap kepada pejabat negara di Kabupaten Bekasi. Namun, pemidanaan korporasi ini bergantung pada kecukupan alat bukti yang ditemukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman memaparkan, pemidanaan korporasi karena tersangkut kasus suap perlu memperhatikan dua hal. Pertama, apakah suap itu dilakukan oleh orang-orang yang berperan sebagai pengendali korporasi. Kedua apakah untuk memenuhi tujuan korporasi.
Bila dua itu terpenuhi, lanjut Zaenur, maka sudah seharusnya pihak Lippo Group juga diperiksa atas kemungkinan dugaan sebagai pelaku. "Kalau melihat konstruksinya, (suap) itu kan bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan korporasi," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (18/10).
Menurut Zaenur, Lippo Group sudah semestinya dikenakan pidana korporasi. Sebab, beberapa unsur sudah terpenuhi. Pertama, suap itu diberikan oleh Billy Sindoro selaku direktur operasional Lippo Group. Jabatan yang diemban Billy ini, menjadi bagian penting untuk bisa mentersangkakan Lippo Group sebagai sebuah korporasi.
Kedua, Zaenur menjelaskan, selain karena posisi Billy, unsur untuk memidanakan Lippo Group sudah terpenuhi karena suap itu dilakukan untuk tujuan bisnis perusahaan. Ini akan berbeda jika misalnya suap tersebut ditujukan untuk bisa lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Ya itu enggak ada urusannya dengan korporasi. Tapi ini kan pelakunya menyuap untuk pengurusan perizinan proyek Meikarta, proyek korporasinya. Sehingga ini terpenuhi unsur-unsurnya," ujarnya.
Karena itu, Zaenur mengatakan KPK harus fokus pada kecukupan alat bukti untuk bisa memidanakan Lippo Group. Mulai dari bukti transaksi suap, saksi, dan tersangkanya sendiri. "Sekarang kemungkinannya hanya satu, ada atau tidak alat buktinya," ungkap dia.