REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, dr Ahmad Yurianto merekomendasikan lokasi terdampak likuefaksi seperti di Petobo, Palu Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, ditimbun dengan tanah. Penimbunan itu, kata ia, seperti memakamkan jenazah.
"Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari," kata Ahmad melalui siaran persnya diterima di Palu, Kamis (18/10).
Menurut Ahmad, pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke tujuh adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut. Ini mengingat kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil. Penggalian jenazah juga berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar.
Baca juga, Cairan Disinfeksi Disemprotkan di Balaroa dan Petobo.
Ia menyampaikan yang perlu dilakukan dinas terkait adalah melakukan pengecekan kualitas air tanah secara berkala di sekitar daerah terdampak.
Selain itu, perlu membuat drainase yang baik agar air hujan bisa terkumpul dan bisa diintervensi sebelum masuk sungai. Idealnya, timbunan ditanggul dan drainase dibuat dari semen.
Hasil analisis sementara pemetaan secara spasial menunjukkan bahwa wilayah terdampak likuifaksi pascagempa Sulteng menyebabkan pengangkatan dan amblesan di Balaroa Palu Barat.
Jumlah perkiraan rumah terdampak mencapai 1.045 unit dengan luasan wilayah terdampak mencapai 47,8 hektare. Sementara jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Palu Selatan mencapai 2.050 unit dengan luas wilayah 180 hektare, sedangkan di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas wilayah 202 hektare.
Likuefaksi merupakan fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, seperti getaran gempa bumi.
Sementara berdasarkan penelitian Badan Geologi pada 2012 menyebutkan bahwa wilayah Palu merupakan wilayah dengan potensi likuefaksi sangat tinggi. Gempa magnitudo 7,4 yang mengguncang beberapa wilayah di Sulteng pada 28 September 2018 menewaskan ribuan orang dan ribuan menderita luka-luka.
Data Kogasgabpad per 17 Oktober 2018, pukul 17.00 WITA melansir jumlah korban meninggal dunia 2.103 jiwa, hilang 680 orang, luka-luka 4.612 orang, dan mengungsi 274.195 jiwa.
Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia dan tertimbun di wilayah terdampak likuefaksi. Pemerintah Provinsi telah memperpanjang status tanggap darurat hingga 26 Oktober 2018.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulteng Ridwan Mumu belum lama ini menyampaikan lokasi Balaroa dan Petobo rencananya akan ditimbun terlebih dahulu dan ditetapkan sebagai pemakaman massal. Selanjutnya pemerintah setempat akan menutup lokasi tersebut dan tidak boleh lagi ada pembangunan karena akan dibuat sebagai memoriam park kawasan hijau serta membagun monumen peringatan bencana di dua lokasi tersebut.
Helikopter MI-8 yang dikirim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan penyemprotan atau water-bombing material disinfektan di wilayah terdampak likuefaksi, seperti Petobo, Balaroa. Pengeboman menjadi langkah yang efektif karena cakupan wilayah yang cukup luas dengan kondisi lapangan berpotensi terjadi amblas. Penyemprotan disinfektan tersebut setelah BNPB berkordinasi oleh Dinas Kesehatan Sulteng, Kementerian Kesehatan dan Kesehatan TNI.