REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Kementerian Perdagangan menggelar Indonesian Lightwood Cooperation Forum (ILCF) untuk kali ketiga pada Jumat (19/10), di De Tjolomadoe Convention & Heritage, Solo, Jawa Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi industri kayu ringan dalam negeri terhadap perkembangan inovasi-inovasi yang diminati dalam rantai nilai global dan prospeknya di masa depan.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag, Arlinda mengatakan, Indonesia merupakan salah satu lumbung kayu ringan terbesar di dunia. Namun untuk dapat menguasai pasar global, Indonesia perlu memproduksi produk-produk kayu ringan inovatif dengan nilai tambah yang lebih tinggi, bukan sekedar classical commodities. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi pioneer mengalahkan produk pesaing dari Tiongkok, khususnya di pasar Eropa. Pasalnya, selama ini bahan baku produk kayu ringan Tiongkok diimpor dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
“Penyelenggaraan ILCF 2018 merupakan kolaborasi antara Kementerian Perdagangan, Indonesian Light Wood Association (ILWA), Swiss Import Promotion Programme (SIPPO), didukung oleh Bank Rakyat Indonesia, sengaja diselenggarakan sebagai side event dari Trade Expo Indonesia 2018,” ujar Arlinda dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Selain dihadiri oleh kurang lebih 200 perusahaan kayu ringan Indonesia, forum ini juga dihadiri oleh 4 (empat) buyers dari Jerman, Swedia, Belgia dan Perancis yang merupakan delegasi program Buying Mission kayu ringan yang dilaksanakan sebagai hasil dari kerjasama Ditjen PEN dan Import Promotion Desk (IPD) Jerman.
Berbeda dengan penyelenggaraan dua kali ILCF sebelumnya yang dilakukan di Jakarta, kali ini kota Solo dipilih sebagai lokasi penyelenggaraan ILCF 2018 guna mengakomodir kepesertaan yang lebih luas di mana sebagian besar perusahaan pengguna kayu ringan berdomisili Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini menjadikan manfaat forum lebih besar.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor, Marolop Nainggolan berharap, kegiatan ini dapat menstimulasi gairah industri kayu ringan dalam negeri untuk lebih berkarya dan mendapatkan inspirasi akan contoh pengaplikasian kayu ringan yang lebih modern dan futuristik di pasar global, seperti contoh pengaplikasian kayu ringan sebagai material bangunan 24 lantai HoHo Tower Vienna yang tahun ini akan dinobatkan menjadi World’s Tallest Wooden Skycraper.
“Selama ini kayu ringan, sering dikategorikan kayu sembarang atau kayu murah, hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan panel barecore atau pengisi blockboard bernilai tambah rendah, dengan memanfaatkan teknologi dan menyasar pasar yang tepat, kayu jenis ini akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda,” tutur Marolop.
Pada kesempatan ini, juga ditandatangani Letter of Intent Pembentukan Indonesian Timber Council antara ILWA, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta. Pihak Kementerian Perdagangan juga menandatangani naskah kerjasama dengan IPD dan SIPPO sebagai perpanjangan dari kerjasama pengembangan dan promosi kayu ringan Indonesia hingga tahun 2020.
Sekilas mengenai potensi kayu ringan Indonesia
Setidaknya ada empat alasan utama kayu ringan Indonesia, umumnya Sengon dan Jabon, memiliki keunggulan dibanding jenis kayu ringan dari negara pesaing seperti Acacia dan Eucalyptus. Pertama, Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem verifikasi legalitas kayu terbaik yang telah diterima oleh EU FLEGT (European Union Forest Law Enforcement, Governance, and Trade). sehingga menjadi faktor yang membuat kayu ringan Indonesia lebih atraktif bagi konsumen di negara Eropa, dan non Eropa lainnya seperti Amerika.
Kedua, industri kayu Indonesia terus didorong untuk mentransformasi diri sehingga tidak lagi mengambil kayu dari hutan alam tapi kayu hasil perkebunan yang tidak merusak hutan. Selain itu, pohon Sengon merupakan sahabat alam karena merupakan salah satu tanaman Legum yang mampu menyerap emisi CO2 dan menyalurkannya menjadi nitrogen dalam tanah. Ketiga, Indonesia telah memiliki perusahaan pioneer yang mampu memproduksi produk kayu ringan yang sangat inovatif sehingga mampu mengangkat positioning industri kayu ringan Indonesia yang diharapkan akan menjadi lokomotif bagi perusahaan kayu lainnya yang skalanya lebih kecil.
Keempat, kayu ringan mendukung ekonomi kerakyatan yang memungkinkan rumah tangga di pedesaan mendapatkan penghasilan tambahan dari menanam kayu sengon atau jabon yang dapat dikombinasikan dengan tanaman palawija (tumpangsari).