Ahad 21 Oct 2018 13:50 WIB

Enam Rekomendasi Reformasi Hukum dari ICJR untuk Jokowi-JK

Institute for Criminal Justice Reform memberikan catatan soal penegakan hukum

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Ekslusif ICJR Anggara (kanan)
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Ekslusif ICJR Anggara (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan tujuh catatan pelaksanaan Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam bidang reformasi hukum di tahun keempat pemerintahan. Atas catatan-catatan tersebut, ICJR memberikan Enam rekomendasi yang perlu ditempuh oleh pemerintah di sisa jabatan setahun ke depan.

Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan, rekomendasi pertama yakni agar pemerintah terlebih dahulu mengevaluasi kebijakan hukum pidana. Disatu sisi, memastikan adanya perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana, serta menyusun peta jalan pembaharuan hukum pidana.

"Khusus dalam konteks KUHP, maka alternatif pembaharuan harus dipikirkan secara matang, termasuk didalamnya menghadirkan opsi amandemen secara bertahap pada kebijakan hukum pidana di Indonesia," kata Anggara dalam keterangan resmi diterima Republika.co.id, Ahad (21/10).

Kedua, Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan moratorium penuntutan dan penjatuhan hukuman mati serta melakukan langkah-langkah nyata untuk penghapusan hukuman mati.

Anggara menilai, perlu ditinjau kembali kasus-kasus terpidana mati untuk melihat kemungkinan indikasi unfair trial atau kesalahan yang terjadi dan menarik pidana mati dalam rancangan UU yang sedang dibahas.

Ketiga, pemerintahan Joko Widodo wajib mengevaluasi pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan warga negara dalam berekspresi dan berpendapat. Baik di dalam UU sektoral maupun KUHP agar dapat segera direvisi.  "Atau, pemerintah segera menarik pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam RKUHP," ujarnya.

Keempat, ICJR menyarankan agar pemerintah menghentikan praktik hukuman cambuk yang melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, mengevaluasi regulasi yang melanggar aturan Hak Asasi Manusia tentang anti penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya.

Kelima, Pemerintahan harus segera memperbaiki kebijakannya untuk bisa mengatasi terjadinya overcrowding di dalam Lapas. Salah satunya, melalui reformasi kebijakan hukum pidana tentang alternatif pidana non pemenjaraan

Rekomendasi keenam, memperbaiki kerja pemerintahan dalam konteks penanganan kasus tindak pidana untuk memperhatikan korban, tidak hanya penghukuman. Disatu sisi, agar pemerintah segera melengkapi regulasi pelaksana berbagai jenis peraturan perundang-undangan untuk memberikan penguatan terhadap korban.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
سَيَقُوْلُ الْمُخَلَّفُوْنَ اِذَا انْطَلَقْتُمْ اِلٰى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوْهَا ذَرُوْنَا نَتَّبِعْكُمْ ۚ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّبَدِّلُوْا كَلٰمَ اللّٰهِ ۗ قُلْ لَّنْ تَتَّبِعُوْنَا كَذٰلِكُمْ قَالَ اللّٰهُ مِنْ قَبْلُ ۖفَسَيَقُوْلُوْنَ بَلْ تَحْسُدُوْنَنَا ۗ بَلْ كَانُوْا لَا يَفْقَهُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata, “Biarkanlah kami mengikuti kamu.” Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami. Demikianlah yang telah ditetapkan Allah sejak semula.” Maka mereka akan berkata, “Sebenarnya kamu dengki kepada kami.” Padahal mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.

(QS. Al-Fath ayat 15)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement