Selasa 23 Oct 2018 13:13 WIB

PBB: Hidup 8,4 Juta Warga Yaman Tergantung Bantuan Makanan

Kebutuhan makanan di Yaman meningkat.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Ratusan warga Sana'a Yaman mengantre makanan untuk berbuka di Sana'a, Yaman, Kamis (24/5) (diterbikan kantor berita pada Rabu (30/5)
Foto: Yahya Arhab/EPA EFE
Ratusan warga Sana'a Yaman mengantre makanan untuk berbuka di Sana'a, Yaman, Kamis (24/5) (diterbikan kantor berita pada Rabu (30/5)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kepala kemanusiaan PBB Mark Lowcock mengatakan konflik di Yaman telah menyebabkan 8,4 juta orang bergantung pada bantuan makanan. Sementara itu, 75 persen dari 22 juta orang membutuhkan beberapa bentuk bantuan lainnya.

Mark Lowcock memperingatkan bahwa 3,5 juta hingga 4 juta lebih warga Yaman mengalami masalah soal pasokan makanan  dalam beberapa bulan ke depan. Analisis yang akan menjadi bahan dalam rapat Dewan Keamanan pada Selasa, mengatakan 3 juta warga Yaman kekurangan gizi, termasuk 1,1 juta wanita hamil, dan lebih dari 400 ribu anak-anak mengalami kekurangan gizi parah.

Dalam skenario terburuk, Lowcock memperingatkan bahwa jika tren saat ini terus berlanjut, kebutuhan makanan dapat meningkat sebanyak 62 persen. Konflik di Yaman, negara termiskin di dunia Arab, dimulai dengan pengambilalihan ibu kota 2014, Sanaa, oleh pemberontak  Houthi, yang menggulingkan pemerintah yang diakui secara internasional. Sebuah koalisi pimpinan Saudi yang bersekutu dengan pemerintah telah memerangi Houthi sejak 2015.

Warga sipil telah menanggung beban konflik, yang telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang dan memicu epidemi kolera dan krisis kemanusiaan. Pada awal  2017, Amerika Serikat (AS) dan mitranya  memberikan bantuan kepada 3 juta warga Yaman yang kelaparan. Lowcock mengatakan bantuan  telah meningkat sehingga mencapai 8 juta orang pada bulan lalu. Tetapi saat ini peningkatan dana diperlukan untuk memenuhi "proyeksi peningkatan kebutuhan."

Dia juga mendesak pihak yang sedang berperang untuk memungkinkan akses yang lebih mudah untuk operasi bantuan dan perluasan impor komersial. Lowcock memperingatkan dewan pada bulan lalu bahwa perang melawan kelaparan telah usai. Namun  situasi telah memburuk “dengan cara yang mengkhawatirkan” beberapa pekan sebelumnya.

"Kita sekarang mungkin mendekati titik kritis, di luar itu tidak mungkin untuk mencegah hilangnya nyawa secara besar-besaran sebagai akibat dari kelaparan yang meluas di seluruh negeri. Kami sudah melihat kantong kondisi yang seperti kelaparan, termasuk kasus di mana orang makan daun," katanya.

Analisis baru Lowcock dikirim ke dewan untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan yang diadopsi pada  Mei untuk meminta laporan cepat tentang "risiko kelaparan yang disebabkan oleh konflik dan kerawanan pangan yang meluas."

Dia mengatakan faktor utama yang berkaitan dengan konflik yang mempengaruhi ketersediaan pangan adalah hilangnya pendapatan rumah tangga. Mengutip perkiraan Bank Dunia bahwa ekonomi Yaman telah mengalami penurunan 50 persen sejak dimulainya konflik, dengan setidaknya 600 ribu pekerjaan hilang, terutama di bidang pertanian dan layanan sektor.

Faktor utama lainnya, kata Lowcock, adalah depresiasi mata uang Yaman, rial, yang telah kehilangan 47 persen nilainya terhadap dolar AS pada tahun lalu, termasuk 20 persen sejak September.

"Dalam enam pekan terakhir, harga  makanan dasar telah meningkat 25 persen dan sekarang lebih dari dua kali tingkat pra-krisis. Krisis mata uang juga telah memaksa harga bahan bakar hingga 45 persen yang berdampak pada transportasi, air, listrik, kesehatan dan layanan sanitasi," katanya.

Lowcock mengatakan sekitar 80 persen makanan dan bahan pokok lainnya untuk wilayah utara yang dikendalikan Houthi masuk Yaman melalui pelabuhan Hodeida dan Salif. Tapi sementara impor telah meningkat secara substansial sejak koalisi yang dipimpin Saudi mencabut blokade pada akhir 2017. Dia mengatakan volume bulanan antara 16 persen dan 20 persen lebih rendah dari  sebelum krisis.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement