REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengimbau masyarakat termasuk warga Muhammadiyah, untuk tidak berunjuk rasa terkait dengan pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Garut, Jawa Barat. Menurut dia, masalah tersebut sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum.
"Penyelesaian di jalan itu akan lebih memantik lagi ketegangan dan itu sejauh mungkin harus kita hindarkan. Karena dalam situasi politik seperti sekarang, kita perlu ketenangan dan situasi yang kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata dia di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (23/10).
Namun, Mu'ti tak menampik ada elemen masyarakat yang menyampaikan aspirasinya melalui unjuk rasa. Menurutnya, tiap warga negara punya hak untuk itu dan Muhammadiyah pun menghormatinya. Tetapi dia mengingatkan, jika ingin aksi, tetap harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
"Kalau mau aksi, harus mengikuti prosedur hukum, yakni menyampaikan kepada aparatur keamanan, dan memastikan itu tidak disertai dengan tindakan kekerasan. Kami hormati elemen masyarakat lain yang melakukan aksi itu sepanjang dilakukan sesuai ketentuan dan hukum yang berlaku," ucapnya.
Soal apakah Muhammadiyah akan membuat laporan kepolisian atas insiden pembakaran tersebut, Mu'ti mengatakan, itu kembali kepada masyarakat. Sebab, ada sebagian masyarakat yang menganggapnya sebagai penistaan agama dan ada yang tidak menganggap demikian.
"Karena itu, kalau ada sebagian masyarakt yang merasa tindakan itu merupakan suatu bentuk penistaan agama, maka bisa melakukan penyelesaian secara hukum, ini menurut saya lebih tepat," papar dia.
Mu'ti juga berpandangan, seharusnya pembakaran bendera itu tidak perlu dan tidak seharusnya terjadi. Aksi itu, kata dia, sudah kebablasan, apalagi dilakukan pada saat peringatan Hari Santri. Ia menyesalkan bagaimanapun yang dibakar itu adalah kalimat syahadat yang sangat suci dan mulia.
Mu'ti mengatakan, kalau yang mereka melakukan itu sebagai bentuk nasionalisme, ekspresi dan aktualisasinya keliru. Nasionalisme seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tetap dalam bingkai akhlak yang luhur.
Jika yang mereka maksudkan adalah membakar bendera HTI, kata Mu'ti, ekspresinya bisa dilakukan dengan cara yang lain. Misalnya, ia menyontohkan dengan simbol-simbol atau tulisan HTI, tidak dengan membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid atau thayibah.
Mu'ti menilai, sangat wajar apabila sebagian umat Islam marah terhadap aksi pembakaran kalimat tauhid ini. Walaupun demikian, ia meminta masyarakat, khususnya umat Islam, tidak perlu menanggapi persoalan pembakaran bendera secara berlebihan.
Pada peringatan Hari Santri Nasional di Lapangan Alun-Alun Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, terjadi pembakaran bendera berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid. Kejadian ini menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat, terutama umat Islam.