REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey mempertanyakan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan produksi padi Indonesia pada 2018 hanya 56 juta ton. Pasalnya, data FAO Rice Market Monitor pada April 2018, disebutkan produksi padi di Asia yakni produksi padi Indonesia tahun 2017 sebesar 72 juta ton gabah kering giling (GKG). Produksi 2018 diproyeksikan lebih tinggi dari 2017.
“Kalau BPS menyatakan bahwa produksi padi kita tahun 2018 hanya 56 juta ton GKG, maka bagaimana dengan statistik dunia (FAO) yang sudah dipublikasi 6 bulan lalu. Apakah FAO akan mengkoreksinya?,” kata Pri Menix di Jakarta, Rabu (24/10).
Menurut Pri menix, dari data FAO tersebut, mengindikasikan data BPS terbaru yang menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA) bukan tidak mungkin dapat dikatakan jauh dari fakta di lapangan. Apalagi, metode KSA, pendataannya menggunakan satelit, walaupun tetap melakukan pengecekan di lapangan, tentu tidak berbeda jauh hasilnya dengan metode sebelumnya.
“Yakni metode eyes estimate. Metode ini juga melakukan pengecekan di lapangan. Keakuratan metode KSA dibandingkan metode yang digunakan FAO patut dipertimbangkan,” ujarnya.
Untuk itu, tegas Pri Menix, sebaiknya dengan dirilisnya data terbaru BPS, berbagai pihak jangan terlalu jauh menyalahkan data proyeksi di kementerian teknis. Apalagi proyeksi tersebut, tetap menggunakan data yang dikeluarkan BPS.
“Data produksi beras pun seharusnya melihat stok yang ada di rumah tangga, horeka dan industri. Sehingga stok beras dalam negeri bukan 2,8 juta ton sebagaiman dirilis baru-baru ini. Tapi bisa lebih. Jika rujukan berbagai pihak dari data terbaru BPS untuk mendorong adanya audit program sektor pertanian, ini justru lebih bagus. Semakin jelas pihak mana yang tidak salah dan harus bertanggung jawab,” pungkas Pri Menix.