REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub) mengadakan focus group discussion (FGD) bertema 'Efektivitas Penerapan Kebijakan Ganjil-Genap (Ga-ge) di Wilayah Jabodetabek'. Kegiatan yang membahas hasil evaluasi penerapan kebijakan ga-ge itu dilaksanakan di Hotel Grand Mercure Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
Kepala Badan Litbang Perhubungan, Sugihardjo mengatakan, berdasarkan temuan Balitbanghub selama penerapan ga-ge, sebanyak 24 persen pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Tetapi dari jumlah itu, yang beralih ke angkutan massal hanya 38 persen.
"20 persen menggunakan Transjakarta atau bus umum, dan 18 persen menggunakan KRL," ujar Sugihardjo saat konferensi pers usai FGD.
Sementara itu, lanjutnya, transportasi seperti taksi online dan ojek online mendapat porsi sebesar 20 persen serta 19 persen limpahan penumpang akibat ga-ge. Ada pula taksi reguler sebesar 7,5 persen, dan yang beralih menggunakan sepeda motor 9 persen.
Sebanyak 53 persen lainnya justru tetap menggunakan kendaraan pribadi. 37 persen memilih untuk melewati jalur alternatif. Sedangkan, 16 persen memiliki opsi dua mobil dengan nopol ga-ge.
"Oleh karena itu, ga-ge menghasilkan kelancaran lalin pada rute yang berlaku ga-ge, tapi muncul kemacetan di rute lain. Karena 37 persen yang biasa lewat di rute pemberlakuan ga-ge, memilih jalan alternatif," imbuhnya.
Berdasarkan hasil riset di lapangan, Sugihardjo mengatakan, metode gage tersebut efektif hanya untuk yang sifatnya sementara. Menurutnya, yang dimaksud sementara itu apakah kemarin karena ada pelaksanaan Asian Games 2018 atau sementaranya kalau pergub itu sampai Desember 2018.
"Kenapa? Karena kalau itu (ga-ge) permanen pasti orang mencari cara-cara lain. Baik itu dengan membeli mobil baru atau bekas supaya bisa memiliki nopol ga-ge," papar Sugihardjo.
Hal itu pun dibenarkan oleh Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Bambang Prihartono. Ia mengatakan, sejak awal kebijakan ga-ge memang bersifat temporary.
"Dari awal kita sudah sampaikan, kebijakan ini sifatnya temporary dan tadi terbukti dengan hasil survei. Oleh karena itu, dia (ga-ge) tidak bisa bertahan lama, paling lama satu sampai dua tahun" kata Bambang.
Menurutnya, kebijakan yang tidak bisa bertahan lama itu perlu 'dirawat'. Caranya adalah dengan membuat kebijakan lanjutan, yaitu Electronic Road Pricing (ERP).
Terkait dengan ERP tersebut, lanjutnya, terbagi menjadi tiga ring. Ring pertama meliputi jalanan di dalam kota DKI Jakarta, yaitu Jalan Sudirman-Thamrin. Ring kedua, mencakup jalan-jalan utama dalam kota lainnya, seperti Jalan MT Haryono, Kuningan, dan sebagainya. Ring ketiga adalah jalanan perbatasan, yaitu di jalan-jalan nasional.
"Jadi mobil sebelum masuk ke Jakarta sudah disaring dulu, tidak menumpuk dulu di Jakarta, sudah awut-awutan baru dikenakan ERP, tapi sudah dari luar," jelasnya.
Tanggung jawab BPTJ sendiri berada pada ring ketiga. Sedangkan dua ring lainnya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.