Jumat 26 Oct 2018 18:21 WIB

Alissa Wahid: Pembakaran Bendera Jangan Digiring Ke Politik

Ia bersikeras bendera tersebut merupakan bendera HTI.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Wahid memberikan sambutan pada acara seminar di Jakarta, Sabtu (28/4).
Foto: Republika/Prayogi
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Wahid memberikan sambutan pada acara seminar di Jakarta, Sabtu (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid ikut berkomentar terkait insiden pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid oleh oknum Banser beberapa waktu lalu. Ia pun menegaskan agar masalah tersebut tidak digiring ke aspek politik. 

"Jangan terbawa ke aspek politik. Karena ini tahun politik, jangan digirng ke aspek poitik," kata Alissa di Yogyakarta Marriot Hotel, Sleman, DIY, Jumat (26/10).

Ia pun menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut ke kepolisian. Ia berharap agar polisi menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan konstitusi yang berlaku. 

"Polisi itu betul-betul mengandalkan kepada konstitusi, mengikuti konstitusi sajalah. Mengikuti hukum pidana itu ada mens rea-nya, ada itikad jahat misalnya, itu kan ada aturannya," katanya. 

Terkait insiden bendera yang dibakar, ia juga bersikeras bendera tersebut merupakan bendera HTI. Bukan bendera tauhid, seperti pro kontra yang beredar di masyarakat. 

"Itu jelas bendera HTI, enggak ada bendera tauhid. Ini zaman digital, ada jejaknya di mana-mana. Sekarang lihat foto-fotonya saja di kantor-kantornya," katanya. 

Sebagai bagian dari Nahlatul Ulama (NU), ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan yaitu mengembalikan semangat Islam Indonesia yang ramah. Sebab, saat ini, banyak ormas-ormas Islam yang menawarkan cara berpikir berbeda dari yang biasa dianut oleh bangsa Indonesia. 

"PR-nya NU itu adalah mengembalikan Islam wasatiyyah sebagai mainstream Islam Indonesia. Jadi dari dulu yang namanya orang Islam di Indonesia itu lebih banyak yang dipraktekkan Muhammadiyah dan NU," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement