Sabtu 27 Oct 2018 06:51 WIB

Warga Ingin Tarif Parkir Sesuai Layanan

Fasilitas parkir diharapkan lebih baik, salah satunya memberikan atap.

Rep: Sri Handayani/ Red: Friska Yolanda
Lahan Parkir
Foto: Republika/Prayogi
Lahan Parkir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fasilitas parkir menjadi salah satu pertimbangan warga Jakarta dan daerah-daerah penyangga untuk bersedia membayar tarif parkir sesuai ketentuan. Mereka umumnya menginginkan tempat parkir yang beratap. 

Warga Kalibata, Puji Kurniasari, mengatakan bersedia membayar tarif parkir mahal apabila fasilitas yang ditawarkan sesuai. "Jangan mahal doang, tapi fasilitasnya cuma pinggiran dan penjagaannya juga diketatin," kata dia saat ditemui Republika.co.id, Kamis (25/10). 

Puji yang sehari-hari bekerja di daerah Gambir, Jakarta Pusat, memilih naik angkutan umum karena sulit mencari lahan parkir mobil. Apalagi, ia harus melalui beberapa titik kemacetan menuju ke lokasi kerja. 

Ia menilai tarif maksimal untuk parkir mobil yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Parkir, Denda Pelanggaran, Transaksi, dan Biaya Penderekan/Pemindahan Kendaraan Bermotor, yakni Rp 12 ribu per jam, masih terlalu murah untuk daerah perkotaan. Pemerintah seharusnya berani menetapkan tarif lebih tinggi apabila lokasi parkir berada di tengah kota dengan layanan parkir yang sesuai. Namun, harga itu dinilai wajar atau pas untuk daerah pinggiran.

photo
Rencana Pembatasan Kendaraan. Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, Selasa (16/10).

Sebaliknya, tarif maksimal untuk parkir motor, yakni Rp 6.000 per jam dinilai terlalu murah. Pasalnya, tempat-tempat parkir yang ada umumnya tidak beratap. Jika diberi fasilitas yang lebih baik, ia menilai tarif itu akan terasa pas. 

"Di mana-mana enggak pakai atap, kasihan motornya kepanasan. Kalau pakai atap, goceng atau Rp 6.000 enggak masalah," ujar dia. 

Pengalaman lain dirasakan oleh warga Depok yang bekerja di daerah Mangga Dua, Jakarta Pusat. Sehari-hari, ia memilih naik kereta dan menitipkan motornya di area park and ride di dekat Stasiun Pondok Cina, Depok. 

"Gue memilih naik kereta karena jarak antara Depok ke Mangga Dua itu ibarat ujung ketemu ujung," ujar dia. 

Febby mengaku pernah mencoba naik motor dari rumahnya di Jatijajar, Depok, ke Mangga dua. Jika jalanan lancar, ia mengaku hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Dari sisi waktu, lamanya perjalanan tak begitu berbeda jika ditempuh dengan kereta. Begitu juga ongkos yang harus dikeluarkan. 

Dengan biaya dan waktu yang hampir sama, Febby mengaku lebih memilih naik kereta api. Naik sepeda motor dianggap lebih melelahkan. Ia harus fokus di jalan selama satu jam. Belum lagi, ada sejumlah risiko yang harus ditemui di jalan, misalnya kecelakaan atau emosi karena banyaknya pengendara sepeda motor dan mobil yang serampangan. 

photo
Parkir motor, penitipan motor di stasiun Pondok Cina, Depok

Ia menambahkan, ketika terakhir naik motor menuju ke lokasi kerja, jalanan di sekitar Depok ke Mangga Dua sudah begitu padat. Naik kereta menjadi pilihan yang makin efisien, meski ia harus berdesak-desakan di pagi dan sore hari. 

Sebagai pengguna layanan park and ride, ia merasa fasilitas ini sangat membantu. Ia tak perlu lagi direpotkan dengan kartu parkir yang harus dijaga hingga waktu pulang. Di layanan park and ride, ia hanya perlu melakukan tapping kartu elektronik. Kartu ini juga digunakan untuk membayar biaya kereta api. 

"Jadi risiko kehilangan kartu lebih kecil," kata dia. 

Dari sisi fasilitas, ia menilai layanan parkir di park and ride Pondok Cina sama seperti di tempat-tempat lain. Ia berharap lahan parkir di sana diberi atap, sehingga motor tidak kehujanan saat musim penghujan.

Warga Bekasi, Yesika Dinta, menuturkan pengalaman berbeda. Sehari-hari ia bekerja secara mobile, meski kantornya berada di Jakarta Barat. Jika frekuensi berpindah tempat sedang tinggi atau tak menentu, ia memilih menggunakan mobil. Namun, jika lokasi-lokasi yang harus ditempuh dapat dilalui angkutan umum, ia biasanya memilih naik kereta api. 

"Pakai mobil juga ketika tanggal genap aja," ujar dia menambahkan. 

Ia tak masalah dengan tingginya tarif parkir di Jakarta. Pasalnya, itu sudah menjadi kebutuhan. Namun, ia menilai tarif parkir maksimal Rp 12 ribu per jam terlalu mahal. Begitu pula dengan tarif motor Rp 6.000 per jam. 

"Kalau Rp 12 ribu buat flat, realistis. Kalau Rp 12 ribu sejam sih enggak deh. Saya sudah merasakan parkir di beberapa tempat, bahkan maksimalnya Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu. Contohnya di IRTI Monas," kata dia. 

Ketika naik kereta api, ia memilih di antar atau menggunakan layanan ojek daring. Pasalnya, fasilitas park and ride di Jakarta belum banyak. Selain itu, lahan yang tersedia tidak kurang luas. Fasilitas ini seharusnya dioptimalkan, terutama di daerah-daerah perbatasan. 

photo
Penumpang memasuki ruang dalam bus Transjabodetabek saat berhenti di halte bus, di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (6/9). Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan melakukan uji coba bus Transjabodetabek Premium dengan rute Jalan Ahmad Yani, Bekasi-Senayan, Jakarta yang nantinya akan melintasi jalur khusus angkutan umum yang berada di bahu jalan tol, pada 7-20 September 2017.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement