Senin 29 Oct 2018 14:33 WIB

CBC: Tekanan Rupiah Turun Bukti Stabilitas Keuangan Menguat

Capital outflow tampaknya sudah mulai berbalik arah

Red: EH Ismail
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (2/10).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- President Director Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri mengatakan, indikator stabilitas keuangan Indonesia menguat adalah menurunnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika. Nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika pasca keputusan BI rate, relatif tidak mengalami pelemahan yang serius. Berdasarkan interest rate differential, nilai tukar rupiah sudah mencapai keseimbangan baru.

"Dalam hal ini, BI cermat dalam membuat keputusan. Pasar obligasi pemerintah juga memperlihatkan tanda yang positif karena capital outflow tampaknya sudah mulai berbalik arah," kata Deni dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.

Menurut Deni, hal itu juga terllihat dari kecenderungan yang membaik pada neraca perdagangan. Pada September 2018, tercatat surplus 227,1 juta dolar amerika, setelah Agustus mengalami defisit  1,02 miliar dolar amerika.

"Tren positif ini segera ditangkap oleh pasar sebagai signal positif sehingga tekanan terhadap rupiah juga menurun," ujar Deni.

Deni menambahkan, kecenderungan capital inflow akan meningkat karena harga aset di Indonesia secara relatif semakin murah dibandingkan dengan harga aset di negara maju.

"Hukum pasar tak akan dapat dilawan di mana pasar akan membeli aset-aset yang secara relatif sudah murah. Tak heran jika capital inflow global juga memperlihatkan tanda-tanda yang semakin ramah terhadap perekonomian negara berkembang," tuturnya.

Selanjutnya, kondisi positif ini juga tidak terlepas dari upaya Presiden AS Donald Trump yang mengkritik keras Gubernur The Fed. Trump menginginkan agar bank sentral tidak serampangan dalam mengerek tingkat suku bunga. Kalau perlu, tingkat suku bunga AS (Fed Fund rate/FFR), diturunkan saja.

Deni menilai, Trump mulai berpikir untuk mengganti Gubernur Fed, karena kenaikan FFR tidak hanya merugikan perekonomian AS, namun juga memukul sejumlah negara berkembang. "Faktor penting yang ikut menentukan stabilnya nilai tukar rupiah adalah berhasilnya komunikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia pada pertemuan IMF di Bali yang baru lalu untuk meyakinkan pasar," papar Deni.

Deni juga menyebut, Bos IMF Christine Lagarde menyatakan secara terbuka fundamental ekonomi Indonesia dan sektor keuangannya sudah berada pada kebijakan yang tepat. Komunikasi ini efektif menjangkar persepsi investor global secara efektif.

"Pasar juga merespon secara positif penjelasan pemerintah bahwa pemerintah Jokowi lebih baik dalam memanfaatkan APBN ketimbang pemerintahan sebelumnya," imbuhnya.

Terkait utang luar negeri, Deni menyebut tambahan di era Jokowi memang lebih tinggi, Namun, angka itu sejalan dengan meningkatnya belanja produktif pemerintah. Dalam belanja infrastruktur, periode SBY hanya Rp456 triliun. Beda di era Jokowi yang berlipat menjadi Rp904,6 triliun.

Tak berhenti di situ, lanjutnya, belanja pendidikan era SBY sebesar Rp983 triliun. Sementara era Jokowi mencapai Rp1.167 triliun. Sedangkan belanja kesehatan era Jokowi mencapai Rp249,8 triliun, sementara SBY hanya Rp146 triliun. "Belanja perlindungan sosial era SBY hanya Rp35 triliun, era Jokowi mencapai Rp299,6 triliun," tuturnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement