REPUBLIKA.CO.ID, Jajaran tenda menjadi pemandangan sehari-hari Devianti. Sudah sebulan, dia juga tinggal di sana. Dia adalah satu dari sekian banyak penyintas di Posko Pembewe, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng).
"Saya hanyut dengan lumpur," ujar dia.
Perempuan berusia 29 tahun itu mengibaratkan pristiwa gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulteng seperti neraka dunia. Devianti merasakan bagaimana diuji untuk bertahan hidup.
"Kekuasaan Allah (kami) bisa selamat," ujar dia.
Saat bencana terjadi, Devianti tengah berada di rumah bersama anak semata wayangnya. Suaminya berada di sawah menyelesaikan pekerjaanya.
Kemudian, gempa berkekuatan 7,4 SR terasa begitu kencang. Dia keluar dan melihat satu per satu rumah di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi runtuh, termasuk rumahnya. Kemudian, dia memutuskan melarikan diri bersama anak. Suaminya menyusul, sambil menggendong anak mereka yang berusia delapan bulan.
Karena bangunan runtuh, insting memintanya memilih area terbuka. Dia dan keluarga berlari menuju persawahan, yang dinilai lebih aman daripada di tengah perumahan.
Namun, ternyata keliru. Dia malah merasakan bencana susulan pascagempa, yakni likuefaksi atau pencairan tanah.
"Tiba-tiba tanahnya berjalan karena ikut lumpur. Tidak ada kayu sudah. Rumput-rumput kita pegang," kata Devianti.
Devianti mengais, meraih apapun untuk bisa berhenti dari seretan lumpur. Beruntung, ada seng yang ditemukan. Dia mencoba menungganginya. Berharap bisa menyelamatkan diri.
Penyintas di asal Jono Oge, Sigi, Sulteng bernama Devianti (kiri), Zulfian (tengah), suami berada di Posko Pembewe, Kabupaten Sigi, Senin (29/10).
Belum juga tiga detik di atas seng, tanah terangkat tinggi, dan tenggelam. Devianti dan keluarga kembali terbenam, tergulung, dan terseret lumpur.
"Kita merangkak-rangkak di atas lumpur, di atas kayu. Kita hanyut sejam sudah, ada satu kilo (kilometer) lebih," ujar dia.
Ketika masih berjuang dari gulungan lumpur, Devianti masih merasakan guncangan-guncangan gempa. "Jadi kami seperti disedot lumpur, dimuntahkan lagi ke atas," kata dia.
Buah hatinya yang bernama Zukfian berada di pelukan sang ayah. Dia sempat diam saja saat wajahnya dipenuhi lumpur. Perasaan buruk menghantuinya, "Jangan-jangan Zul meninggal." Ternyata tidak. Tiga kali namanya dipanggil keras-keras, "Zul. Zul. Zul," kemudian bocah itu terbatuk dan menangis. Devianti dan suaminya begitu lega. Pasalnya, Zul adalah anak yang dinanti-nanti setelah tujuh tahun pernikahan mereka.
"Saya sempat terpisah sama suami. Suami saya teriak-teriak nama saya, saya lambaikan tangan. Itu gelap sudah," ujar dia.
Dia berjalan selama 10 kilometer mencari-cari jalan. Dia sempat istirahat selama satu jam. Kemudian, dia berjalan lagi sepanjang tujuh kilometer dan berteduh di Desa Lolu.
Setelah tenang, Devianti dan keluarga berdiam di bawah pepohonan di Desa Lolu. Badannya dipenuhi lumpur. Tak ada makanan, apalagi susu untuk Zul, yang mengonsumsi susu formula. Zul baru mendapat susu pukul 10.00 WITA, Sabtu (29/10).
"Itu saja susu Kental Manis buat anak-anak, bukan balita," tutur dia.
Pada malam ketiga pascabencana, dia menumpang di tenda kakak sepupunya. Baru setelah sepekan, keluarganya baru mendapat tenda.
Jika ditawari dan dibangunkan rumah lagi di Biromaru, Devianti menolaknya. Dia belum bisa melupakan bagaimana berjuang karena gulungan lumpur.
Penyintas di asal Jono Oge, Sigi, Sulteng bernama Devianti (kiri), Zulfian (tengah), suami berada di Posko Pembewe, Kabupaten Sigi, Senin (29/10).
Rupanya, Devianti tengah mengandung tiga bulan. Namun, keadaan pengungsian tidak memungkinkannya hanya berleha-leha di tenda pengungsian.
Sekitar dua pekan lalu, Devianti sempat terpeleset di kamar mandi. Pun selama ini, dia harus menggotong-gotong air jika ingin ke kamar mandi. Pada Kamis (25/10) lalu, Devi sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, dia mengkonsumsi pereda sakit kepala.
Malamnya, Devi mengeluhkan sakit perut. Namun, dia tahan sambil tidur dalam posisi miring. Saat Jumat (26/10) pagi, dia menemukan janinnya sudah keluar.
Kemudian, dia langsung memandikan dan menguburkan janin itu. Devi meminta suaminya mencari bidan di Posko Kesehatan. Namun, tidak ada satupun tim medis.
Kemudian, tim kesehatan Dompet Dhuafa yang tengah berpatroli mengajak Devi memeriksakan diri di rumah sakit. Namun, dia menolak perawatan inap. Tanpa tindakan apapun, Devi langsung pulang ke tenda pengungsian.
Devi mengatakan, selama ini hanya anaknya, Zul yang menguatkannya. Devi kembali ceria karena Zul juga selalu ceria. Setelah 29 hari pascabencana, Devi menengok kondisi rumahnya. Ternyata posisinya sudah bergati dengan kebun jagung.