REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Mahkamah Agung Korea Selatan (Korsel) memerintahkan perusahaan Jepang Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp membayar kompensasi kepada empat orang Korea yang mereka paksa bekerja selama masa kolonial. Banyak pihak yang mengatakan keputusan itu akan memperburuk hubungan kedua negera.
Nippon Steel mengatakan putusan ini cukup amat sangat disesalkan. Mereka akan meninjau kembali putusan ini sebelum mengambil langkah selanjutnya. Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan akan memanggil duta besar Korsel.
Kementerian Luar Negeri Jepang bersikeras persoalan kompensasi itu sudah selesai sejak perjanjian damai 1965. Satu-satunya pekerja yang masih hidup Lee Choon-shik menyambut baik keputusan Mahkamah Agung ini.
"Sungguh memilukan melihatnya hari ini, menjadi satu-satunya yang masih hidup," kata laki-laki berusia 98 tahun tersebut dalam siaran televisi Korsel, Selasa (30/10).
Dalam putusan ini Mahkamah Agung Korsel mempertahankan perintah yang dikeluarkan pada tahun 2013 untuk meminta Nippon Steel membayar masing-masing pekerja Korsel sebesar 100 juta won. Empat pekerja tersebut mengajukan tuntutan pada 2005 mereka menuntut kompensasi dan upah yang tidak dibayarkan.
Kantor berita Korsel Yonhap melaporkan putusan pengadilan untuk memberikan hak kepada para pekerja tidak menyalahi perjanjian perdamaian 1965, sebuah perjanjian untuk memperbaiki hubungan diplomatik kedua negara Asia Timur itu. Sebelumnya pengadilan di Tokyo, Jepang menyatakan putusan ini menyalahi perjanjian 1965 tersebut.
Jepang dan Korsel memiliki sejarah pahit selama 35 tahun kolonialisasi Jepang di Semenanjung Korea. Selain kerja paksa, banyak perempuan Korea yang dijadikan wanita penghibur selama penjajahan.
Beberapa pejabat dan pakar Korsel khawatir keputusan pengadilan itu sudah final, mengikat dan dapat membawa dampak buruk bagi hubungan kedua negara. Jika Nippon Steel menolak membayar kompensasi maka penggugat dapat meminta pengadilan menyita properti perusahaan yang ada di Korsel.
Hal itu dapat membuat beberapa perusahaan Jepang menarik diri dan investasi mereka di Korsel. Pada 2016, Kementerian Luar Negeri Korsel mengatakan penyitaan aset perusahaan dapat merusak hubungan kedua negara.
"Kami mungkin harus menghadapi tidak hanya krisis diplomatik tapi juga keluarnya beberapa perusahaan Jepang dan membatalkan investasi baru," kata peneliti senior Asan Institut Kajian Kebijakan, Shin Beom-chul.
Pakar lainnya mengatakan Jepang akan mencari cara agar mereka tidak harus membayar kompensasi tersebut. Salah satunya membawa kasus itu ke pengadilan arbitrasi.
"Ada kemungkinan kasus ini akan meningkatkan, memicu sentimen anti-Jepang di sini dan meluas ke wilayah lain termasuk keamanan pada saat kita perlu bekerja erat dengan Jepang untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara," kata presiden Institut Sejong, Jin Chang-soo.