REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menjabat tangan generasi milenial Kokam dan mengenalkannya kepada sejarah Si Penjaga Keluarga Muhammadiyah. Kurang lebih itu yang jadi niat luhur Iwan Setiawan, penulis buku Kokam: Kesatuan Muhammadiyah di Zaman Bergerak.
Tidak semua pemuda generasi milenial mengenal istilah Kokam. Walau hampir ada pada tiap peristiwa penting bangsa, nama dari kesatuan yang merupakan kepanjangan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah itu belum akrab di telinga.
Bagi mereka yang tidak dekat dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, nama Kokam memang asing. Tapi, jawaban berbeda ke luar jika itu dikaitkan dengan peran-peran yang dilakukan Kokam.
Kokam kekinian banyak dikenal sebagai anak-anak muda Muhammadiyah yang suka mengawal Ustaz Abdul Somad saat berdakwah. Atau, anak-anak muda Muhammadiyah yang kerap mendampingi Novel Baswedan usai percobaan pembunuhan yang menimpanya.
Ya, anak-anak muda berseragam loreng layaknya tentara, memang banyak dikenal dari peran-peran mereka di tengah-tengah masyarakat. Seakan jadi tradisi, Kokam memang terbilang jarang menonjolkan nama tokoh-tokohnya.
Sumbangsih mereka untuk masyarakat justru lebih mengudara. Hal itu yang lagi-lagi terlihat dari sosok Iwan Setiawan, anggota Kokam yang sosoknya sebagai Kokam tidak banyak dikenal publik.
Walau tidak banyak dikenal masyarakat luas, nama Iwan Setiawan sudah tidak asing atas peran-perannya sebagai anak muda berseragam loreng yang senantiasa bertugas menjaga keluarga besar bangsa, tidak cuma Muhammadiyah.
Pria kelahiran 6 Maret 1982 di Yogyakarta itu sudah aktif di Pemuda Muhammadiyah Ranting Nitikan sejak 2000. Tak disangka, kesiapsiagaan dan kedisplinan yang ada mengantarkannya menjadi Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Umbulharjo pada 2003.
Kemudian, kariernya berlanjut dengan menjabat Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Yogyakarta pada 2007, dan meningkat kembali menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) DIY pada 2014. Memang tidak sekadar membalikkan tangan meraih itu semua.
Beragam pelatihan diikuti Iwan sejak memulai langkahnya dalam keluarga besar Muhammadiyah. Seperti Diklat Kokam Umbulharjo, Diklat Kokam Kota Yogyakarta, Diklat Suspimnas PP Pemuda Muhammadiyah dan lain-lain.
Kecintaan kepada Kokam menguatkan tekad Iwan menulis risalah organisasi yang dijelutinya tersebut. Bagi Iwan, generasi muda dan penerus Kokam masa depan penting memahami besarnya sejarah organisasi yang mereka tinggali.
Iwan merasa, kisah sejarah akan menguatkan seseorang memahami diri dan membuat seseorang bangga. Dari keinginan itu, Iwan mencari informasi-informasi sejarah Kokam dari semua sumber yang mungkin masih tersisa.
Sekitar tiga tahun mengumpulkan referensi, beberapa bulan dibutuhkan Iwan untuk merampungkan buku Kokam. Tentu, ia sadar bantuan banyak elemen dari dalam dan luar Muhammadiyah berkontribusi melahirkan tulisannya.
Anak dari Siti Maisun, suami dari Nunung Damayanti dan ayah dari Alifah Humaira Setiawan itu paham betul pengaruh orang-orang sekitarnya bagi kehidupannya kini. Justru alasan itu yang mendorongnya menulis sejarah Kokam.
Sebab, Iwan merasakan betul bagaimana persahabatan yang ada di Kokam. Sepanjang hidupnya berkecimpung, persahabatan di Kokam dirasa tidak memiliki kepentingan. Semua tampak begitu paham tugas besar organisasi menjaga bangsa.
Menurut Iwan, persahabatan yang ada di Kokam merupakan persahabatan otentik. Persahabatan, yang tidak memiliki kepentingan selain urat nadi yang sama sebagai sesama anak bangsa yang cinta agama dan bangsa.