REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri melalui program hilirisasi di sektor industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) meningkatkan rasio ekspor produk hilir. Pada 2010, tercatat indikator rasio ekspor produk hulu dengan produk hilir adalah 60:40 persen yang bergeser menjadi 22:78 persen pada 2017.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, komoditas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya menjadi mesin pendorong kinerja ekspor nasional dengan nilai sebesar 22,97 miliar dolar AS pada tahun 2017 (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel). Capaian ini membuat Indonesia dapat menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit dunia.
"Ekspor produk berbasis kelapa sawit yang didominasi oleh produk hilir bernilai tambah tinggi ini menjadi salah satu penopang perolehan devisa negara dan berperan penting dalam menjaga penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing," tutur Airlangga dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (30/10).
Bahkan, dengan menghasilkan 42 juta ton minyak sawit per tahun, Indonesia berkontribusi hingga 48 persen dari produksi CPO dunia. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 21 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
Saat ini, Airlangga menjelaskan, anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang terdiri dari lebih 644 perusahaan sudah tersebar merata di provinsi penghasil kelapa sawit. Di antaranya, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Airlangga menilai, dengan penyebaran itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global. "Baik untuk keperluan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan," ujarnya.
Selain pengembangan produk hulu seperti CPO dan crude palm kernel oil (CPKO), ada tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus dikembangkan.
Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product). Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia, antara lain minyak goreng sawit dan margarin.
Kedua, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar, sampai pada produk jadi. Misalnya, produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan shampoo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (contohnya bioplastik).
Selanjutnya, ketiga, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain. Terkait dengan hilirisasi biofuel, saat ini pemerintah tengah serius untuk menerapkan program biodiesel 20 persen (B20) secara penuh di Indonesia, dan memperluas penggunaan B20 di semua kendaraan bermotor.
Airlangga menambahkan, pihaknya bersama pelaku usaha industri biodiesel di bawah pembinaannya mendukung kebijakan perluasan mandatory B20 untuk sektor public service obligation (PSO) dan non-PSO. Termasuk melalui partisipasi dan kinerja produksi Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU-BBN) dalam menyediakan pasokan Biodiesel FAME (Fatty Acid Methyl Ester) sebagai pencampur BBM diesel dengan kualitas sesuai spesifikasi SNI.
Kemudian, Kemenperin terus mendukung upaya pengembangan industri greenfuel atau bahan bakar terbarukan ramah lingkungan dari minyak sawit. Produk tersebut, meliputi green diesel, green avtur, dan green gasoline, khususnya yang berbasis teknologi proses dalam negeri.
"Kami telah mengusulkan industri green fuel masuk ke dalam cakupan sektor usaha yang berhak mendapatkan tax holiday," ujar Airlangga.