Rabu 31 Oct 2018 01:02 WIB

Warga Argentina Kurangi Makan Daging Akibat Krisis Ekonomi

Argentina menghadapi inflasi tinggi dan kurs peso melemah.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Bendera Argentina
Foto: AP
Bendera Argentina

REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Seperti kebanyakan warga Argentina, Sabrina Pozo (36 tahun) biasa mengonsumsi daging beberapa kali dalam sepekan. Namun, krisis ekonomi yang disebabkan oleh inflasi tinggi dan runtuhnya mata uang peso, telah memaksanya untuk mengubah pola makan.

"Kebiasaan saya banyak berubah. Sebelumnya, mungkin saya bisa membuat daging sapi Milanese dan daging sapi panggang seminggu sekali," kata Pozo, yang tinggal bersama putrinya di sebuah apartemen di Buenos Aires.

"Sekarang, mungkin saya tidak akan membuat daging sapi panggang lagi, atau saya akan memilih untuk membuat ayam panggang saja yang sedikit lebih murah. Memakan banyak pasta dan nasi," kata dia.

Daging sapi menjadi makanan yang langka di meja makan keluarga kelas menengah, karena negara itu semakin tenggelam dalam gejolak ekonomi. Hal itu adalah salah satu tanda paling jelas dari penurunan daya beli warga Argentina yang terpangkas oleh inflasi, yang diperkirakan akan melampaui 44 persen pada akhir tahun.

Orang-orang Argentina yang diwawancarai Reuters mengatakan mereka tidak bisa memakan daging sapi sebanyak yang mereka biasa makan. Saat ini mereka telah menggantinya dengan makanan yang lebih murah.

Sejumlah pedagang mengatakan, mereka merasakan penurunan tajam dalam penjualan daging sapi dalam beberapa bulan terakhir. Peternak dan pengepak daging, yang bergantung pada konsumen domestik untuk sebagian besar penjualan mereka, mengatakan mereka terus bergantung pada ekspor ke Rusia dan Cina, yang menjadi pembeli asing utama daging sapi Argentina.

"Kami adalah karnivora. Argentina, sepanjang hidup, selalu memakan daging," kata Javier Madeo (45), yang memiliki toko daging di Buenos Aires.

Meski Argentina perlahan-lahan mengurangi konsumsi daging selama 60 tahun terakhir, rakyatnya tetap dianggap paling karnivora di dunia. Namun pada September, data statistik yang diterbitkan oleh industri daging sapi Ciccra, mengungkapkan konsumsi daging telah turun menjadi rata-rata 49 kg per orang.

Angka itu turun hampir 17 persen dibanding bulan sebelumnya. Hal ini tentu menjadi berita buruk bagi Presiden Argentina Mauricio Macri, yang tengah menghadapi perjuangan yang berat dalam usahanya untuk terpilih kembali pada Oktober 2019.

Ia telah memangkas subsidi listrik, air, dan gas untuk memecah siklus ekonomi negaranya. Namun, hal itu justru membuat hidup rakyat Argentina semakin sulit. Dia berisiko kehilangan dukungan di antara pemilih kelas menengah yang membantunya memenangkan kursi kepresidenan pada 2015.

Tahun lalu, Argentina bersama dengan Uruguay, menjadi negara yang paling banyak mengonsumsi daging, menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Dari steak hingga sosis, daging sapi berkualitas tinggi yang terkenal di negara itu mendominasi menu di sejumlah restoran.

Tetapi pada September saja, harga daging sapi telah melonjak hampir 9 persen dari bulan sebelumnya. Harga daging sapi menjadi 39 persen lebih mahal daripada bulan yang sama tahun sebelumnya.

"Sebelumnya, orang datang dan membeli satu kilo atau lebih sedikit daging. Sekarang, mereka membeli setengah kilo," kata Alcides Benitez (41 tahun), seorang pedagang daging. Dia khawatir harus menutup tokonya di kawasan bersejarah San Telmo di Buenos Aires.

Argentina telah mengalami kenaikan inflasi di masa lalu. Selama krisis keuangan yang parah di negara itu pada 2001/2002, kesulitan ekonomi melemahkan konsumsi daging rakyatnya.

Namun, wabah penyakit kaki dan mulut telah mendorong penurunan ekspor daging sapi di negara tersebut dan memaksa produsen daging untuk menjualnya di dalam negeri dengan lebih murah. Akibatnya, meski krisis, orang-orang Argentina masih bisa memuaskan selera mereka untuk memakan daging.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement