REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjend Dedi Prasetyo mengungkapkan Polri tetap menjaga profesionalitas dan kedepankan asas kehati-hatian terkait berbagai laporan di tahun politik. Hal ini ditekankan Dedi terkait dilaporkannya mantan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto ke Bareskrim Polri.
Dedi mengatakan saat ini laporan tersebut masih dipelajari apakah masuk unsur pidana, karena menyebarkan berita bohong. Sebab Polri masih melihat unsur perbuatan melawan hukumnya apakah terpenuhi. kalau sudah terpenuhi, lanjut dia, nanti penyidik yang akan menganalisa.
"Lihat dulu, laporan kan belum masuk ke penyidik. Laporan polisi sampai mana, kita belum tahu. Yang jelas polisi tetap bekerja secara profesional dan mengedapankan asas kehati-hatian yang lebih tinggi di tahun pesta demokrasi ini," kata Brigjend Dedi Prasetyo kepada wartawan, Rabu (31/10).
Soal identitas bendera HTI, ia menyebut, semua akan didalami dulu fakta-fakta yang ada. Tetapi ia menegaskan fakta yang jelas untuk perkembangan pembakaran bendera HTI sudah ada. Di mana Polda Jabar sudah menetapkan sebagai tersangka bagi yang membakar bendera.
"Iya dua orang pembakar bendera ditetapkan sebagai tersangka, pasal 174," ujarnya.
Soal video bendera hitam yang dituduh bendera HTI dikibarkan di Poso. Dedi menegaskan belum ada penyelidikan. "Belum, bendera itu ternyata didalam hasil rekontruksi, tidak ada bendera sama sekali. sementara belum," terangnya.
Seperti diketahui Forum Umat Islam Revolusioner (FUIR) melaporkan mantan mantan Jubir HTI Ismail Yusanto ke Bareskrim Polri, karena dianggap menyebarkan berita bohong di media sosial (Medsos).
Laporan diterima nomor LP/B/1369/X/2018/BARESKRIM tertanggal 25 Oktober 2018. Ismail dilaporkan karena diduga melalukan tindak pidana konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.