REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga petani miskin di Anyer, Banten, sedang berjuang mendapatkan keadilan di pengadilan. Mereka menjadi terdakwa dalam kasus pencurian batang kayu. Mereka dijeratan pasal 82 UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (P3H).
Tiga petani itu adalah Kurdi, Damanhuri, dan Amin. Mereka yang sehari-hari hidup dari hasil tani ini tengah menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri Serang Banten. Total kerugian dari tindakan pencurian tersebut hanya Rp 1,2 juta.
Kuasa hukum tiga petani itu, Riesqi Rahmadiansyah, menyayangkan kelanjutan proses hukum terhadap mereka. Menurutnya memang tidak selayaknya tindakan mereka dilanjutkan hingga sampai ke meja hijau. Apalagi, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 tahun 2012, diatur soal batasan kerugian.
"Tapi ini tidak berlaku. Karena itu dianggap termasuk tindak pidana khusus dengan mengacu pada Undang-Undang P3H," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (3/11).
Padahal, menurut Riesqi, pasal 82 Undang-undang P3H digunakan untuk korporasi besar pembalak hutan, bukan untuk petani tradisional yang masih mencari makan di hutan. "Apakah itu lahan milik Perhutani, saya mau tantang dengan memastikan apakah itu diambil dari pohon di area Perhutani," katanya.
Riesqi melanjutkan, persoalan ini makin memperlihatkan sektor lingkungan itu tidak ramah bagi petani miskin, tapi ramah bagi korporasi besar. "Dalam kasus ini hukum diuji apakah tajam ke bawah dan tumpul ke atas," jelas dia.
Pasal 82 itu, Riesqi mengakui memang sering bermasalah sehingga tidak menutup kemungkinan akan dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, pemerintah perlu mengkaji penerapan pasal 82 UU P3H yang sering salah dipahami oleh para pelapor.
Sidang pengadilan terhadap tiga petani itu dipimpin oleh Eni Sri Rahayu dengan hakim anggota adalah Atep Sopandi dan Emy Tjahjani. Agenda sidang akan dilanjutkan pada 8 November 2018, dengan agenda eksepsi. Pihak penuntut umum sudah menyiapkan beberapa saksi ahli.