REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pemanasan global yang memicu lumernya es kutub dan pemuaian air laut telah menaikkan muka air laut sekitar tiga milimeter per tahun. Kondisi ini antara lain berakibat mempercepat penenggelaman Pulau Tikus di Kota Bengkulu.
Pakar Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Zamdial Ta'alidin menuturkan dengan adanya pemanasan global, Pulau Tikus di Bengkulu sangat rentan dari ancaman tenggelam dan hilang karena abrasi. Ia memprediksi dalam kurun waktu lima tahun abrasi telah menenggelamkan 1,4 hektare daratan di pulau tersebut.
"Tahun 2013, luas daratannya masih mencapai dua hektare. Pada 2015, luasnya mengecil menjadi 0,8 hektare. Sedangkan saat ini 2018, daratan yang tersisa di Pulau Tikus hanya 0,6 hektare," kata Zamdial di Bengkulu, Senin (5/11).
Pulau Tikus yang ditopang gugusan terumbu karang seluas 250 hektare merupakan pulau kecil tak berpenghuni yang mulai dilirik untuk wisata bahari. Jarak pelayaran dari Kota Bengkulu menuju Pulau Tikus berkisar 30 menit menggunakan perahu wisata.
"Apabila tidak ada upaya penyelamatan maka Pulau Tikus akan tenggelam dalam beberapa dekade ke depan," tuturnya.
Menurut dia, pemerintah harus membuat skala prioritas guna mencegah tenggelamnya pulau yang memiliki sejarah panjang bagi populasi masyarakat dan perkembangan perekonomian di Kota Bengkulu tersebut. "Ada dua cara untuk menyelamatkan Pulau Tikus dari acaman tenggelam dan abrasi, yaitu melalui reklamasi serta membangun benteng perlindungan alami dari tanaman bakau," ujar Zamdial.
Dia menambahkan, apabila pemerintah hanya mengupayakan reklamasi tanpa memperbanyak populasi tanaman bakau, maka program reklamasi itu akan sia-sia karena kuatnya arus Samudera Hindia pemicu abrasi. "Reklamasi dan membangun tanggul butuh biaya besar. Peningkatan populasi bakau dan terumbu karang menjadi cara ampuh yang murah dan ramah lingkungan untuk menyelamatkan Pulau Tikus dari ancaman tenggelam dan abrasi," imbuhnya.