REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Brisbane adalah kota bagi banyak imigran, rumah bagi berbagai budaya. Mereka terbiasa hidup dalam keragaman. Perbedaan tak menjadi penghalang bagi kebersamaan dan persatuan yang menjadi ciri khas kota ini.
Namun, di balik ketenangan dan kebersamaan itu, Brisbane ternyata menyimpan pengalaman pahit pada 2001. Ketika itu Amerika Serikat menjadi sasaran penyerangan aksi teror yang menghancurkan gedung World Trade Center pada September.
Penduduk Brisbane menyaksikan tayangan penghancuran gedung tersebut berkali-kali. Tak hanya menjadi tontonan, tayangan tadi memicu sejumlah orang menebar permusuhan.
Komunitas Muslim menjadi sasaran dan incaran kebencian. Tahun 2001 benar-benar menjadi awal permusuhan terhadap Muslim hingga beberapa tahun kemudian.
Wanita yang mengenakan jilbab, orang- orang dengan nama-nama yang terdengar Arab, bahkan orang-orang yang tampak seperti berasal dari Timur Tengah dilecehkan secara verbal dan diserang secara fisik.Batu-batu dilemparkan ke bus yang membawa anak-anak ke sekolah Islam di West End. Masjid Kuraby dibakar habis.
Sejak 2001, kontroversi perlakuan terhadap pengungsi, ketakutan akan terorisme, dan perang di Timur Tengah juga telah berkontribusi terhadap ketidak pastian dan ketakutan komunitas Muslim Brisbane.
Dalam kondisi terpuruk, justru umat Islam bersatu menghimpun kekuatan melalui dakwah. Komunitas Muslim mem buat strategi bersama Dewan Kota Brisba ne untuk membantu umat Islam diterima di Brisbane.
Mereka memastikan masyarakat lebih luas mendapat informasi yang lebih baik tentang Islam. Pesan Islam sebagai rahmatan lil `alamindisebarluaskan. Masyarakat secara perlahan memahami agama tersebut ternyata harus dirangkul dan diapresiasi. Persepsi tentang Islam dan penganutnya menjadi semakin baik.