REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi, Hendri Saparini menilai, pemerintah perlu melakukan percepatan terwujudnya demokrasi ekonomi nasional.
“Pada Intinya, demokrasi ekonomi itu harus ada. Demokrasi ekonomi itu adalah semua orang harus ikut bergerak untuk meningkatkan pereknomian nasional," kata Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia ini, dalam siaran persnya, Senin (5/11).
Menurutnya, hal itu dilakukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Kalau demokrasi ekonomi tersebut terbentuk dengan baik, kata Hendri, kesenjangan ekonomi tidak lagi terjadi. Baik itu di perkotaan maupun di perdesaan.
"Jadi hak untuk mendapatkan pekerjaan itu bukan hanya masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Jadi masyarakat yang mau bekerja tidak perlu harus berkompetisi dulu," ujar Hendri.
Lanjut Hendri, karenanya pemerintah perlu menyalurkan pekerjaan yang disesuaikan dengan pendidikannya.
“Jangan sampai ada lowongan pekerjaan SMP kemudian diberikan kepada lulusan SD. Dan saya rasa bagi masayarakat yang memiliki pendidikan SD juga masih memiliki potensi dalam meniungkatkan ekonominnya. Seperti bertani dan dan pekerjaan yang disesuaiakan dengan bidangnya,” kata perempuan asli Kebumen ini.
Hendri juga menyarankan agar pemerintah memperkuat fundamental ekonomi. Menurut dia, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) hingga tembus pada level Rp15400, secara tidak langsung diprediksi berdampak kepada perekonomian nasional.
Ia pun mengapresiasi langkah pemerintah dalam melakukan stabilitas ekonomi. Namun demikian, Presiden Jokowi perlu mensinergikan tim ekononimya, sehingga terjalin koordinasi yang jelas. "Jangan sampai terjadi kebijakan ekonomi yang tidak perpihak kepada masyarakat,” kata Hendri.
Ia juga berharap agar pemerintah cepat memulihkan stabilitas ekonomi. Sehingga bangsa Indonesia mampu bersaing di pasar global.
Jika pemerintah mengatakan persoalan rupiah dikarenakan dampak krisis global terkait perang dagang AS dan Cina. Tapi yang perlu diingat juga beberapa negara terdampak krisis faktor eksternal saat ini sudah mulai bangkit.
“Seperti India, Vietnam, Thailand dan beberapa negara lain. Dan mereka bisa memanfaatkan krisis ini sehingga pertumbuhan ekonominya naik diatas enam persen. Dan Indonesia semestinya harus melakukan hal itu,” harapnya.
Ia mengungkapkan, pendapatan negara salah satunya dari ekspor. Tapi sayangnya 65 persen ekspor Indonesia dari barang mentah. "Sehingga yang menentukan pasar global. Padahal, kalau ekspornya sudah dalam bentuk barang jadi, kita bisa menjual barang dengan menyesuaikan dengan nilai produksi," ujarnya.
Pada kesempatan itu, pihaknya juga mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah yang membatalkan kebijakan menaikan BBM. Menurut dia, langkah tersebut sudah tepat. Karena disaat bersamaan memasuki tahun politik yang dinilai bakal memicu kegaduhan jelang Pemilu. Selain itu, dampak yang sangat dirasakan adalah dapat menurunkan daya beli masyarakat.
"Menaikan BBM itu bukan solusi. Bahkan saya paling menantang. Kalau tidak bisa memberikan solusi ekonomi kepada masyarakat, setidaknya tidak memberikan beban lagi pada masyarakat. Karena berdasarkan hasil survei pasca kenaikan BBM tahun 2014 lalu, justru daya beli masyarakat menurunnya drastis. Tapi bagi masyarakat kelas menengah ke atas hal itu tidak berdampak," katanya.