Rabu 07 Nov 2018 02:55 WIB

Khabib, Glorifikasi Sang Juara di Tengah Pusaran Politik

Kemenangan Khabib menjadi ajang propaganda politik bagi sejumlah pemimpin negara.

Khabib Nurmagomedov
Foto: AP/Las Vegas Sun/Steve Marcus
Khabib Nurmagomedov

REPUBLIKA.CO.ID,  Sudah hampir sebulan sejak Khabib Nurmagomedov mengalahkan Conor McGregor di pertarungan bebas UFC untuk mempertahankan gelar juara kelas ringan.

Di saat pertarungan itu diwarnai kerusuhan usai pertandingan yang terjadi antara kedua kubu, hal tersebut tidak mengurangi popularitas Khabib dan tidak ada yang bisa menghentikannya untuk bertemu sejumlah pemimpin dunia yang kontroversial.

Seperti yang dikutip dari theguardian.com, Selasa (6/11), dalam beberapa pekan terakhir, Khabib memulai tur kemenangan tidak resmi untuk merayakan kemenangan di berbagai belahan dunia. 

Perjalanan tersebut termasuk di dalam negeri di Rusia, sebelum berlanjut ke beberapa negara di Timur Tengah. 

Selama tur perayaan kemenangan tidak resmi itu, ia bertemu dengan para tokoh, mulai dari Presiden Rusia Vladimmir Putin, Presiden Chehnya Chenchen Ramzan Kadyrov, anggota keluarga Kerajaan Uni Emirat Arab, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. 

Semua pemimpin dunia tersebut berfoto bersama Khabib dan menyampaikan selamat atas kemenangannya. 

Ini adalah sebuah peristiwa langka karena jarang sekali seorang juara seni bela diri campuran yang lebih dikenal dengan singkatan MMA (Mixed Martial Art) mendapat perhatian yang begitu besar dari para pemimpin politik dunia. 

Popularitas Khabib di mata tokoh dunia tersebut tentu saja menjadi promosi gratis bagi MMA dan memberikan sinyal bahwa jenis olahraga tersebut semakin diterima di pentas dunia. 

Namun, satu kesan yang sangat jelas dan tidak bisa dihindari adalah bahwa politisi pun mulai memanfaatkan atlet sebagai alat propaganda mereka dengan agenda mereka masing-masing. 

Tur kemenangan Khabib dimulai ketika ia kembali ke kampung halamannya di Republik Dagestan, Rusia. Pada awalnya, perayaan Nurmagomedov tidak ada bedanya dengan juara lain yang pulang ke kampung halamannya.  

Tapi politisasi kemenangan Nurmagomedov diawali oleh politisi lokal, yang mengeluarkan kalimat-kalimat yang bernada provokatif, seperti yang dilontarkan Vladimir Zhirinovsky, pemimpin Partai Liberal-Demokratik Rusia. 

"Kita akan cekik semua musuh Rusia, seperti Khabib yang mencekik McGregor," kata Zhirinovsky yang sengaja memakai topi papakha, topi khas yang sering dipakai Khabib menjelang pertarungan. 

Di saat para politisi lain ikut memberi selamat kepada Khabib, kalimat-kalimat yang dilontarkan pun berkembang ke urusan politik, tidak lagi soal olahraga. 

Mulai sejak itu, nama Khabib Nurmagomedov pun mulai berkibar dan hanya berselang beberapa hari kemudian, ia diundang menghadiri sebuah forum olah raga di Ulyanovsk, dimana ia dan ayahnya Abdulmana, bertemu Presiden Putin. Pertemuan tersebut disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasional. 

Pertama-tama, Putin memberi ucapan selamat kepada Khabib atas kemenangannya sebelum kemudian melanjutkan untuk membahas perkelahian usai pertandingan. 

Ketika Khabib menjelaskan bahwa kubu McGregor telah dengan sengaja "memprovokasi" dia, Putin pun melihat kesempatan tersebut sebagai simbolisme politik. 

Putin justru mengutuk tindakan Nurmagomedov sebelum kemudian menjelaskan bahwa Rusia adalah "keluarga besar dan beragam" dan bahwa "Jika kita diserang dari luar ... mungkin ada harga yang harus dibayar." Itu adalah jenis propaganda yang halus dan cukup efektif. 

Tak lama setelah itu, Khabib pun terbang ke Chechnya di mana dia bertemu dengan Kadyrov. Disana ia menghadiri jamuan makan malam, sebelum dinobatkan menjadi warga kehormatan Chechnya. 

Itulah aksi politik yang sama yang juga digunakan Kadyrov kepada pemain bintang Liverpool dan Mesir, Mohamed Salah selama Piala Dunia 2018.

Sang panglima perang itu juga memberi hadiah kepada Khabib berupa Mercedes baru untuk merayakan kemenangannya melawan McGregor. 

Kadyrov, yang pernah dilaporkan melakukan pembersihan terhadap komunitas LGBT Chechnya pada 2017, menyampaikan komentar di media sosial dengan mengatakan: “McGregor] menyadari bahwa Khabib adalah seniman brilian yang dapat mengubah wajahnya menjadi gambar yang dilukis dengan cat minyak merah.” 

Setelah berhenti di Chechnya, Khabib kemudian  terbang ke Dubai dan bertemu dengan anggota keluarga kerajaan Uni Emirat Arab. 

Tidak banyak informasi yang disampaikan selama perjalanan ke negara Timur Tengah itu, hanya berupa foto-foto Khabib bersama Sheikh Diab Bin Zayed Al Nahyan, ketua dana investasi Dubai. 

Sheikh Diab juga merupakan perwakilan dari keluarga kerajaan yang telah memainkan peran penting dalam koalisi pimpinan Saudi di Yaman, melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti kebebasan berekspresi, dan perlakuan buruk terhadap pekerja migran. 

Namun, Sheikh Diab belum dituduh melakukan kejahatan apapun - tidak seperti tokoh lain yang dia temui di Dubai, seperti Sagid Murtazaliev, peraih medali emas Olimpiade dalam gulat gaya bebas yang dituduh membiayai terorisme dan menjadi tersangka dalam beberapa pembunuhan. 

 Dari Timur Tengah, Khabib pun terbang ke Turki, dimana ia diundang untuk menghadapi pembukaan bandara internasional Istanbul yang baru. 

Selama pembukaan, ia bertemu dengan Presiden Kyrgyzstan, Sooronbay Jeenbekov, serta Presiden Turki Erdoan, seorang pemimpin yang dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia.    

Keduanya tampak berjabat tangan di tengah sorot mata kerumunan massa yang tersenyum.

Sebagai bintang global dan mewakili umat Muslim di seluruh dunia, Khabib tampaknya gagal memanfaatkan peluang untuk meluruskan kesan yan tidak benar tentang Islam, seperti yang banyak ditemui di AS.

Khabib dinilai seharusnya bertemu pemimpin Arab moderat pemimpin Islam seperti Beji Caid Essebsi dari Tunisia, atau Sultan Qaboous bin Said al Said dari Oman, bukan ke Turki yang pemimpinnya memenjarakan banyak wartawan.

     

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement