REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendapatkan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang baik tentu merupakan dambaan setiap orang, apalagi jika pekerjaan yang diraih itu sesuai dengan keterampilan atau passion seseorang. Namun di balik pekerjaan dan penghasilan yang baik itu, ada hal penting lainnya yang harus disadari dan dipahami oleh pekerja yang merupakan hak mendasar yang harus diberikan perusahaan kepada seluruh pekerjanya. Hal tersebut adalah hak pekerja untuk mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Perusahaan atau pemberi kerja memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh pekerjanya mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Sementara karyawan harus menyadari bahwa sudah menjadi hak mereka untuk mendapatkan hal tersebut.
Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan oleh pekerja, yaitu adanya kemungkinan perusahaan berstatus daftar sebagian. Ini berarti bahwa hak pekerja tidak diberikan sepenuhnya oleh perusahaan atau pemberi kerja.
Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis, menegaskan pihaknya selalu berupaya memberikan edukasi dan informasi kepada pengusaha dan pekerja terkait kondisi Perusahaan Daftar Sebagian (PDS). "Ada tiga jenis status PDS yang kerap terjadi, yaitu PDS Tenaga kerja, PDS Upah, dan PDS Program," jelas Ilyas seperti dalam siaran persnya.
PDS Tenaga kerja adalah kategori perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian karyawan yang bekerja di bidang usahanya. Ada pula kategori PDS Upah, di mana perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program perlindungan oleh BPJS Ketenagakerjaan, namun data upah yang dilaporkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Kategori terakhir adalah PDS Program, di mana meski perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerja dan telah sesuai memberikan data upah karyawannya, perusahaan hanya ikut pada dua program perlindungan dari empat program wajib yang ada.
PDS program dan PDS Upah menjadi pelanggaran yang paling lazim dilakukan perusahaan atau pemberi kerja, bahkan untuk perusahaan kategori menengah besar. Kondisi ini sering terjadi lantaran pihak
BPJS Ketenagakerjaan tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah upah yang diterima pekerja khususnya pekerja yang menerima upah di bawah UMP atau UMK dan kebijakan dari perusahaan terkait dengan pemberian upah kepada karyawannya.
Ilyas mengatakan pelaporan dari pekerjalah yang dapat membantu BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan informasi data upah yang akurat. Melalui aplikasi BPJSTKU, pekerja dapat melaporkan kepada kami jika ada ketidaksesuaian data upah, ataupun jumlah tenaga kerja. "Peserta tidak perlu khawatir, kerahasiaan data anda kami jamin," tambahnya.
Konsekuensi dari pelaporan data upah yang salah berakibat pada berkurangnya manfaat yang akan diterima oleh peserta, antara lain manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja(JKK), dan manfaat Jaminan Pensiun (JP). Dampak yang signifikan terlihat pada profesi yang memiliki risiko tinggi, seperti pekerja tambang hingga profesi penerbang. Ketidaksesuaian data upah maupun tenaga kerja berdampak pada besaran manfaat yang akan diterima jika yang bersangkutan mengalami risiko pekerjaan.
Misalnya upah (gaji pokok + tunjangan tetap) karyawan PT A sebesar Rp 100 juta, sedangkan yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 3,7 juta. Akibat yang timbul pada saat pekerja mengalami resiko kerja yang mengakibatkan meninggal dunia adalah terdapatnya kekurangan manfaat yang diterima oleh ahli waris dengan penjelasan :
• Dasar perhitungan dengan gaji Rp 3,7 juta :
Santunan meninggal dunia JKK = Rp 3.700.000 x 48 bulan upah = Rp 177.600.000
• Dasar perhitungan dengan gaji Rp 100 juta :
Santunan meninggal dunia JKK = Rp 100.000.000 x 48 bulan upah = Rp 4.800.000.000
• Selisih manfaat yang diterima sebesar Rp 4,8 miliar – Rp 177,6Juta = Rp 4,622 Milyar
Sedangkan untuk manfaat Jaminan Hari Tua yang iurannya dibayarkan oleh perusahaan setiap bulannya dapat dihitung sebagai berikut :
• Dasar perhitungan dengan gaji Rp 3,7 juta :
Iuran JHT = Rp 3.700.000 x 3,7 persen = Rp 136.900
• Dasar perhitungan dengan gaji Rp 100 juta :
Iuran JHT = Rp 100.000.000 x 3,7 persen = Rp 3.700.000
• Selisih manfaat JHT yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan setiap bulannya = Rp 3,7 juta – Rp 136,9 ribu = Rp 3,56 juta per bulan
Dengan asumsi iuran di atas, terdapat perbedaan manfaat atas Jaminan Hari Tua yang akan diterima pekerja. Untuk upah yang dilaporkan sebesar Rp 3,7 juta, manfaat jaminan hari tua yang akan diterima untuk 1 tahun kepesertaan sebesar Rp 2,6 juta. Sedangkan untuk upah yang dilaporkan sebesar Rp 100 juta manfaat jaminan hari tua yang akan diterima mencapai Rp 71 juta dengan asumsi hasil pengembangan yang diberikan sebesar tujuh persen per tahun.
"Nilai pengembangan yang kami berikan selalu di atas rata-rata bunga deposito perbankan," ungkap Ilyas.
Ilyas menambahkan jika perusahaan berstatus PDS, sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menanggung semua selisih yang timbul. Dengan mendaftarkan perusahaan dan pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan, itu artinya perusahaan sudah mengalihkan tanggung jawab perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan jika terjadi risiko pekerjaan.
"Jadi sudah menjadi tanggung jawab perusahaan juga jika data yang dilaporkan tidak sesuai, peserta bisa menuntut perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini sesuai dengan regulasi yang ada," pungkas Ilyas.