REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia tercatat sebesar 115,2 miliar dolar AS pada akhir Oktober 2018. Jumlah itu meningkat dibandingkan posisi September lalu sebesar 114,8 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal mengatakan, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor. Nilai ini juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Agusman melalui siaran pers, Rabu, (7/11).
Ia menjelaskan, peningkatan cadangan devisa pada Oktober 2018 terutama dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas dan penarikan utang luar negeri (ULN) pemerintah yang lebih besar dari kebutuhan devisa untuk pembayaran ULN pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Ke depan, kata dia, BI memandang cadangan devisa tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik. Positifnya kinerja ekspor juga dinilai bisa mendorong cadev. Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi cadev. Seperti dijelaskan oleh BI, di antaranya penjualan ULN pemerintah menarik devisa dari luar.
"Terutama nanti akhir tahun ada tren front loading utang untuk belanja di 2019. Kemudian September kemarin impor migas nya turun 25,2 persen dibanding bulan Agustus. Impor migas bulan oktober juga rendah. Jadi kebutuhan permintaan dolarnya sempat berkurang," jelas Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Rabu, (7/11).
Ia menambahkan, ada kabar baik lainnya yakni harga minyak mentah dunia sekarang di bawah 72 dolar AS per barel. Harga ini turun dari puncak 86 dolar AS per barel. "Jadi ibaratnya tren ekonomi dunia untuk sesaat berpihak pada Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut Bhima mengatakan, BI juga menghemat cadev untuk intervensi rupiah. Hal itu merupakan strategi persiapan Desember, yakni saat bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunganya Fed Fund Rate (FFR) dan ada tekanan arus modal keluar.
"Ibaratnya BI hemat cadev untuk mempersiapkan perang yang lebih besar di akhir tahun sampai 2019. Jadi caranya bisa dibilang mengurangi intervensi kurs," kata Bhima.