REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) telah mengalokasikan dana lebih dari 260 juta dolar AS untuk membangun akses transportasi, seperti jalur kereta api dan jalan raya, ke Korea Utara (Korut). Informasi itu disampaikan seorang pejabat Kementerian Unifikasi Korsel pada Kamis (8/11).
Angka alokasi dana itu muncul saat Seoul dan Washington sedang melakukan pendekatan berbeda terhadap Pyongyang. Korsel mencoba untuk melonggarkan tekanan, sementara AS bersikeras bahwa tekanan itu harus dipertahankan sampai denuklirisasi tercapai.
Presiden Korsel, Moon Jae-in, menawarkan untuk membantu membangun infrastruktur kereta api dan jalan raya yang telah usang di Korut. Jalur itu akan dihubungkan dengan Korsel.
Seoul berencana untuk menghabiskan dana sekitar 295,1 miliar won atau 264 juta dolar AS untuk skema tahun depan. Sebanyak 186,4 miliar won akan diberikan secara cuma-cuma, sementara 108,7 miliar won akan diberikan dalam bentuk pinjaman.
"Ini adalah perkiraan untuk saat ini. Kami akan melanjutkan upaya, termasuk koordinasi kebijakan dengan AS, untuk melaksanakan proyek-proyek yang disepakati antara kedua Korea tanpa hambatan," kata pejabat tersebut, yang menolak disebutkan identitasnya, dikutip Channel News Asia.
Pernyataan pejabat itu muncul ketika anggota parlemen Korsel, Chung Byoung-gug, menuduh pemerintah mengabaikan sanksi PBB terhadap Korut.
"AS mempertahankan posisi bahwa pihaknya akan terus memberikan tekanan maksimum sampai Korut menghasilkan kemajuan yang terlihat pada denuklirisasi dan demikian juga komunitas internasional termasuk Uni Eropa," ujar Chung kepada surat kabar JoongAng Ilbo.
"Alokasi anggaran oleh pemerintah justru terlihat seolah kita telah merusak koordinasi internasional terkait sanksi Korut," kata dia.
Korut yang terisolasi dan miskin saat ini tengah berada di bawah beberapa sanksi yang dijatuhkan atas uji coba nuklir dan rudal di masa lalu, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap resolusi PBB. Mencabut sanksi - yang melarang sejumlah perdagangan termasuk ekspor batu bara - adalah permintaan utama Pyongyang dalam negoisasi denuklirisasi yang sedang berlangsung dengan AS.
Pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump telah mengadakan pertemuan bersejarah pada Juni lalu di Singapura. Keduanya menandatangani perjanjian yang samar-samar tertulis mengenai denuklirisasi.
Namun, tidak ada kemajuan berarti yang dicapai sejak saat itu. Kedua negara tersebut berselisih tentang makna yang tepat dari perjanjian yang ditandatangani itu.
Perundingan yang telah direncanakan antara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan salah satu tangan kanan Kim, Kim Yong-chol, juga tertunda pekan ini. Moon telah bertemu Kim tiga kali sepanjang tahun ini dan KTT lainnya sedang direncanakan di Seoul.