REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebut aksi bela tauhid ditunggangi oleh organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). HTI sebagai organisasi kemasyarakatan telah dibubarkan pemerintah.
"Untuk demonstrasi yang dua kali itu ternyata memang ditunggangi kelompok-kelompok yang memanfaatkan untuk kepentingan politik, dimanfaatkan untuk teman-teman HTI tetap eksis," kata Wiranto usai dialog dengan pimpinan ormas Islam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (9/11).
Untuk itu, mantan panglima TNI itu mengingatkan kepada umat Islam yang melakukan demonstrasi untuk berhati-hati dan mewaspadai adanya kepentingan terselubung. Demonstrasi yang terkadang bertujuan baik untuk membangun suatu pemahaman positif, dikatakannya dapat ditunggangi kelompok lain untuk kepentingan politik.
Selama ini, ujar Wiranto, masih terjadi perdebatan cukup sengit tentang pembakaran bendera dari sudut pandang bendera tersebut dinilai bendera HTI dan sudut pandang bendera tauhid. Polisi telah menjalankan proses peradilan kepada pembakar atau pun pembawa bendera, tetapi aksi bela tauhid tetap digelar sebanyak dua kali.
Kini, dialog antara pemerintah dan para pemimpin ormas Islam tentang peristiwa pembakaran bendera di Garut mencapai kesepakatan dan diharapkan tidak terdapat kegaduhan kembali. Wairanto pun berencana mengadakan dialog dan pertemuan secara berkala.
"Saya kira pertemuan seperti ini akan saya lakukan secara berkala, secara periodik agar kebesamaan kita, baik sesama umat Islam atau antaragama tetap terjaga," ucap Wiranto.
Mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan, Aksi Bela Tauhid yang digelar pada 26 Oktober lalu di Jakarta merupakan cerminan dari perasaan dan pikiran umat. Menurut Ismail, hal itu mencerminkan bahwa bendera yang dibakar oleh anggota Banser NU di Garut tidak terafiliasi dengan HTI.
Ismail menuturkan, Aksi Bela Tauhid pun telah meluas. Ia mencatat, aksi serupa telah digelar di Kota Medan, Pekanbaru, Padang, Bangka Belitung, Semaran, Solo, Yogyakarta, hingga Makassar. “Artinya mereka melihat bahwa yang dibakar itu bendera Tauhid, bukan bendera siapa-siapa,” kata Ismail di Jakarta, Jumat (26/10).
Menurut Ismail, narasi yang dicoba dibangun yakni bahwa kesalahan utama karena adanya penyusup yang membawa bendera pun tertolak dan gagal. Justru, kata Ismail, narasi tersebut akan menimbulkan antipati di tengah masyarakat serta memicu perlawanan.
Kerumitan masalah kemudian bertambah akibat kesan opini-opini yang dibangun untuk membenarkan periswita pembakaran bendera tersebut sebagai sesuatu tepat. “Sebenarnya, masalah ini sederhana dan bisa cepat selesai kalau memang diakui langsung bahwa itu merupakan kesalahan,” tuturnya menambahkan.