Sabtu 10 Nov 2018 04:00 WIB

Perang Istilah: 'Genderuwo Politik Hingga Tampang Boyolali'

Istilah yang dilontarkan capres-cawapres diteruskan oleh tim suksesnya.

Rep: Fauziah Mursid/Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Badan Pemenangan Nasional (BPN) menggelar konferensi pers terkait polemik pernyataan 'tampang boyolali' di Media Center Pemenangan Prabowo - Sandiaga, Jakarta, Selasa (6/11).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Badan Pemenangan Nasional (BPN) menggelar konferensi pers terkait polemik pernyataan 'tampang boyolali' di Media Center Pemenangan Prabowo - Sandiaga, Jakarta, Selasa (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga merupakan capres nomor urut satu, mengeluarkan istilah baru. Yaitu, ‘genderuwo politik’.  Jokowi berpendapat, saat ini banyak politikus yang pandai memengaruhi masyarakat. Namun, ia menyayangkan sikap para pelaku politik yang cenderung tak memandang etika berpolitik dan keberadaban.

"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan dan kekhawatiran. Setelah takut, yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat emang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga, masyarakat akan menjadi ragu-ragu," ucap Jokowi di Kabupaten Tegal, Jumat (9/11).

Jokowi memiliki satu istilah khusus untuk menggambarkan perilaku berpolitik tak beretika yang menebar ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Ia menyebut cara berpolitik tersebut sebagai 'politik genderuwo' yakni politik yang menakut-nakuti. "Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? 

Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani, menilai, Presiden Jokowi tengah menyindir kubu pesaingnya yaitu Prabowo-Sandi saat melontarkan istilah politik genderuwo. Menurutnya, pernyataan tersebut dilontarkan Jokowi karena ada pihak yang berkampanye dengan gaya-gaya menakuti masyarakat, seperti 'genderuwo'.

"Sebenarnya, Pak Jokowi sedang menggelitik yang di sebelah agar kualitas konten kampanyenya ditingkatkan dengan memberikan alternatif kebijakan, ide-ide baru, bukan hanya mencela, teriak bohong, atau pencitraan," ujar Arsul kepada wartawan, Jumat (9/11).

Menurutnya, gaya tersebut dilakukan oleh tim sebelah yang kerap melontarkan informasi yang dianggap tidak benar oleh tim kampanye Jokowi-Ma'ruf. "Coba gimana nggak bikin takut kalau yang disuarakan Indoneisa akan hancur, punah, dikuasai asing, dan lain-lain dan itu dilempar tanpa berbasis data-data kuantitatif," ujar Arsul.

Karenanya, politikus PPP itu tak heran jika Jokowi kemudian melemparkan istilah tersebut. "Ya, Pak Jokowi menyampaikan seperti itu karena ada yang gaya kampanyenya ada yang nakut-nakuti, genderuwo kan mahluk halus yang kalau muncul memang nakut-nakuti manusia yang ketemu dengannya," kata dia.

Sebelumnya, Jokowi pada Oktober lalu pernah menyebut istilah politik sontoloyo. Yaitu, cara berpolitik yang memecah belah masyarakat, menyebabkan kebencian, mengadu domba dengan cara tak beradab itulah yang ia sebut dengan politik sontoloyo. "Kalau masih pakai cara-cara lama seperti itu, masih memakai politik kebencian, politik sara, politik adu domba, politik pecah belah itu namanya politik sontoloyo," kata Jokowi di ICE, Tangerang, Rabu (24/10).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement