REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Pertahanan (Menhan) Iran, Brigjen Ghassem Taghizadeh menyatakan akan tetap bertahan di tengah sanksi penjualan minyak dari Amerika Serikat (AS). Hal itu disampaikannya usai menemui Menkopolhukam RI Wiranto di kantornya pada Jumat, (9/11) siang.
Ghassem menekankan sanksi AS terbilang ilegal karena tak diterima komunitas internasional. Seperti di Eropa misalnya, yang menurutnya menolak sanksi itu.
"Kita percaya sanksi ini ilegal. Sanksi yang dikeluarkan AS tidak diterima masyarakat Eropa dan wilayah lain," katanya pada wartawan.
Ia merasa Iran tak ambil pusing atas sanksi AS tersebut. Sebab ia meyakini banyak negara yang antre mau membeli minyak dari Iran. Bahkan, ia sebut ada 80 negara yang berpeluang membeli minyak asal Iran.
"Kita tidak ada masalah dengan sanksi itu. Banyak negara lain yang mau beli minyak kita. Ada sekitar 80 negara menekan untuk beli minyak kita tanpa masalah (sanksi AS)," ujarnya.
Pemerintah Iran, kata dia, akan berkomitmen membeli minyak dengan mata uang negara pembeli. Sehingga, Iran tak menggunakan dolar AS dalam transaksi tersebut.
"Kita belinya tidak pakai dolar AS tapi mata uang mereka," ujarnya.
Iran tengah berusaha keluar dari gejolak pasca-pemberlakuan sanksi dari AS. Presiden AS Donald Trump membuat kebijakan agar tak ada negara yang mau menerima minyak dari Iran. Bagi negara yang bandel, AS akan membatasi hubungan dagangnya.
Iran pun diklaim kesulitan menjual minyaknya hingga berpengaruh pada situasi di dalam negeri. Padahal, negara itu amat menggantungkan diri dari ekspor minyak.
Hubungan Iran dengan AS mengalami fluktuasi. Pada 2015, hubungan kedua negara sempat berjalan baik. Kini, dua negara itu berseteru lagi.