Sabtu 10 Nov 2018 09:16 WIB

Pemerintah Dinilai Perlu Naikkan Cukai Rokok Secara Drastis

Kenaikan cukai rokok 20 persen dinilai baru bisa menurunkan jumlah perokok.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Nur Aini
Ketua Indonesian Health Economic Asssociation (InHEA) atau Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany di Workshop AJI Jakarta, Bogor, Jumat (9/11).
Foto: Farah Noersativa/Republika
Ketua Indonesian Health Economic Asssociation (InHEA) atau Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany di Workshop AJI Jakarta, Bogor, Jumat (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Indonesian Health Economic Asssociation (Inhea) atau Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany mengatakan, pemerintah perlu menaikkan cukai rokok secara drastis. Hal itu, kata dia, mampu mengefektifkan penurunan prevelansi perokok di Indonesia.

"Kenaikan drastis perlu untuk dosis atau persen penurunan yang diperlukan. Kita tidak punya nilainya, tapi hal itu bisa dievaluasi per tahun. Tapi dari pengalaman, 20 persen (kenaikan cukai) itu baru menurun," kata Hasbullah di Bogor, Jumat (9/11).

Dia mengatakan, pihaknya telah melakukan pengamatan dengan teori elastisitas untuk memperkirakan kenaikan cukai. Menurutnya, berdasarkan pengalamannya, teori itu tak banyak ada perbedaan dengan negara lain.

Teori elastisitas bukan dihitung dari nilai uang saja. Namun, juga dari perubahan harga dan permintaan. Jika harga rokok menigkat satu persen, kata dia, maka permintaan akan turun 0,05 persen. Namun, pada faktanya, pada 2017 lalu, permintaan pun tak kunjung turun walaupun harga rokok telah ditingkatkan.

Hasbullah menjelaskan, sesuai dengan target pemerintah yaitu menurunkan satu persen jumlah prevalensi perokok di Indonesia per tahun, maka perlu kenaikan harga rokok sampai 20 persen.

"Kalau harga rokok cuma naik 10 perrsen, nggak terjadi (prevalensi perokoknya). Bukan malah turun 0,5 persen. Itu nggak ngefek, karena dosisnya tidak memadai," kata Hasbullah.

Hal itu berbeda dengan komoditas beras. Harga beras bila meningkat dua kali lipat, masyarakat pun masih akan membeli karena sebuah kebutuhan. Oleh sebab itu, beras disebut dengan barang yang inelastis.

Pihaknya pun menyarankan untuk menyamaratakan kenaikan harga rokok dari merek satu dengan merek yang lainnya. "Jangan dibikin lapisan. Sudah, satu tapi sama, kalau merek mahal nggak terjangkau, pindah ke yang murah," kata dia.

Dia juga menekankan, apabila cukai tidak dinaikkan, maka hal itu akan berpotensi untuk menaikkan prevalensi konsumen rokok. Sebab, saat ini, kondisi konsumsi bisa dikatakan statis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement