Sabtu 10 Nov 2018 11:52 WIB

PBNU: Muliakan Kalimat Tauhid dengan Cara-Cara Mulia

Kalimat tauhid tepat digunakan untuk mempersatukan, bukan untuk mencerai-beraikan.

Rep: Novita Intan/ Red: Reiny Dwinanda
Sejumlah peserta aksi berunjuk rasa memprotes pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Sejumlah peserta aksi berunjuk rasa memprotes pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Jumat (2/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini menyatakan kalimat tauhid harus dimuliakan dengan cara-cara yang mulia. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak sembarang menuliskannya.

“Saya hanya khawatir, kalau kalimat tauhid kita tulis di sembarang tempat, seperti di bendera kemudian terinjak-injak atau di kaos yang kemudian kita pakai juga saat masuk WC, bukankah ini sangat jauh dari niat kita untuk memuliakan kalimat tauhid,” ucapnya retoris.

Baca Juga

Helmy menyerukan umat Islam untuk memuliakan kalimat tauhid dengan cara-cara yang mulia. Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk melakukannya, antara lain dengan taqorrub kepada Allah SWT melalui zikir, tahlil, dan sebagainya.

“Dengan zikrullah akan terpancar kebijaksanaan untuk kemudian mau berbagi dan membantu antarsesama,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (10/11).

Dalam pandangan Helmy, kalimat tauhid tepat digunakan untuk mempersatukan, bukan untuk mencerai-beraikan persatuan. Pernahaman seperti inilah yang penting untuk dimiliki bersama.

“Pengalaman di banyak negara Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah, mereka banyak yang berperang, hancur luluh langah justru oleh politisasi kalimat tauhid melalui bendera, seperti ISIS dan Hizbut Tahrir,” ujarnya.

Seperti merujuk ke kasus temuan bendera tauhid di kediaman Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab di Makkah, Arab Saudi, Helmy mengatakan Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia melarang bendera tauhid berwarna hitam, meski tanpa tulisan Hizbut Tahrir. "Masalah ini sudah masuk ke dalam wilayah politik, di mana ada sekelompok yang memperalat bendera kalimat tauhid dalam menjalankan gerakannya”, kata Helmy.

Helmy juga mengingatkan agar rajutan persaudaraan harus terjaga dalam keberagaman. Ia tak ingin persaudaraan antaranak bangsa koyak oleh framing pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh.

Soal pembakaran bendera di Garut, Helmy menyatakan kasusnya telah diserahkan ke ranah hukum. PP GP Ansor pun telah memberikan sanksi kepada oknum yang membakar, karena melampaui prosedur yang seharusnya cukup bendera tersebut diserahkan kepada aparat keamanan.

Keluarga besar NU, menurutnya, juga menyayangkan peristiwa tersebut. "Marilah kita menatap Indonesia yang lebih baik ke depan,” ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement