REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Keputusan Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena membubarkan parlemen mengundang kecaman dari kekuatan Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Keputusan tersebut memperburuk krisis politik besar yang sudah terjadi
Sirisena membubarkan parlemen pada Jumat malam (9/11), hanya lima hari sebelum parlemen bersidang lagi. Sirisena dalam posisi berbahaya kehilangan jabatan akibat mosi tidak percaya. Ia juga menyerukan pemilihan umum pada 5 Januari.
Sirisena memicu perebutan kekuasaan ketika memecat Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe pada akhir bulan lalu. Ia kemudian memilih mantan pemimpin Sri Lanka Mahinda Rajapaksa, orang kuat pendukung Cina, yang didepak Sirisena dari jabatannya pada 2015.
Saingan Sirisena diperkirakan menentang keputusannya, yang mereka katakan tidak sah dan tidak konstitusional di Mahkamah Agung pada Senin. Biro Urusan Asia Selatan dan Tengah Amerika Serikat mengatakan di Twitter AS sangat prihatin atas kabar Parlemen Sri Lanka dibubarkan. AS mengatakan demokrasi perlu dihormati untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan.
Menteri Negara untuk Asia dan Pasifik dari Inggris, Mark Field, membuat cicitan mengenai keprihatinannya tentang pembubaran parlemen beberapa hari sebelum akan bersidang lagi. "Sebagai teman Sri Lanka, Inggris menyerukan semua pihak untuk menjunjung tinggi konstitusi dan menghormati institusi dan proses demokratis," kata dia.
Kebijakan Luar Negeri Kanada juga membuat cicitan di Twitter berisi keprihatinan mengenai keputusan tersebut dan merujuk kepada risiko untuk kerja rekonsiliasi setelah perang saudara di Sri Lanka. "Situasi politik tak menentu ini merusak masa depan demokrasi Sri Lanka dan komitmennya mengenai rekonsiliasi dan akuntabilitas."
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne menyatakan keprihatinan dan kekecewaan dalam pernyataan, yang menyebutkan langkah (pembubaran parlemen) itu mempengaruhi tradisi demokrasi yang sudah lama di Sri Lanka dan menimbulkan risiko bagi stabilitas dan kesejahteraan. Sirisena tiba-tiba memecat Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dan menunjuk mantan presiden yang pro-Cina, Mahinda Rajapaksa, untuk menggantikannya. Sirisena berpendapat perdana menteri itu berusaha menerapkan konsep politik liberal yang ekstrem dan baru dengan memberikan prioritas pada kebijakan luar negeri dan mengabaikan sentimen rakyat.
India dan Barat menyatakan keprihatinan atas kedekatan Rajapaksa dengan Cina. Cina memberi pinjaman miliaran dolar kepada Sri Lanka untuk pembangunan prasarana ketika Rajapaksa menjadi presiden pada 2005-2015, yang membuat negara itu terlilit utang.