Senin 12 Nov 2018 06:16 WIB

Tampang Boyolali Hingga Genderuwo, Kita Hanya Ribut Istilah

Pengungkapan istilah seperti ini tak menguntungkan kepada kedua pasangan.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi, Umar Mukhtar, Febrianto Adi Saputro, Muhammad Ikhwanuddin, Muslim AR/ Red: Ratna Puspita
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Ma'ruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)-Sandiaga Uno (kanan).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Ma'ruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)-Sandiaga Uno (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesta demokrasi di Indonesia, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, hanya sibuk berdebat soal istilah mulai dari ‘tampang Boyolali’ hingga ‘politik genderuwo’. Debat istilah ini justru menjauhkan publik pada hal-hal yang subtansial seperti visi dan misi. 

Pengamat Politik Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyayangkan ungkapan ‘politik Genderuwo’ oleh calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo saat menjelaskan tentang perilaku politik yang menebar ketakutan. 

Baca Juga

Ray mengatakan ungkapan itu muncul ketika pernyataan ‘tampang Boyolali’ oleh capres nomor urut 02 Prabowo Subianto pun belum sepenuhnya lenyap dari pembahasan. 

"Akhirnya, publik kita hanya ribut soal ungkapan yang sebenarnya tidak perlu," kata Ray dalam keterangan yang diterima Republika, Sabtu (10/11).

Menurut Ray, wajah kampanye yang terjadi saat ini hanya memperdebatkan persoalan yang remeh-temeh dan belum masuk dalam persoalan yang lebih substansial. Padahal, ia mengatakan, pengungkapan istilah seperti ini tak menguntungkan kepada kedua belah pihak. 

“Aroma negatifnya yang justru besar," kata dia.

Ray berpendapat diamnya Jokowi selama ini dalam menanggapi setiap sindiran dan ujaran lainnya lebih efektif ketimbang membalas dengan hal yang sama. "Justru yang membuat simpati atasnya menguat, cara beliau menjawab seluruh sindiran, nyinyiran dan bahkan fitnah dengan fokus melaksanakan tugasnya lebih efektif membuat elektabilitasnya naik," lanjut dia.

Menurutnya, dalam lingkup masyarakat yang literasinya masih berkutat pada simbol, kulit dan permukaan, kedua pasangan capres dan timnya justru harus berkampanye substantif. Misalnya, mengungkapkan tentang hal yang berhubungan dengan masa depan Indonesia, khususnya lima tahun ke depan. 

"Ruang politik kita sudah terlalu banyak diisi oleh kampanye nyinyirisme. Kita perlu kembali ke kampanye substantif," kata dia.

Baca Juga:

Pakar politik Universitas Padjajaran (Unpad) Idil Akbar menyayangkan pernyataan-pernyataan yang kurang subtantif tersebut. "Kita terlalu berkutat dalam debat istilah, dalam debat-debat yang tidak subtantif, tidak mengedepankan program dan sebagainya," kata Idil saat dihubungi Republika, Ahad (11/11).

Ia pun memaklumi perdebatan tersebut merupakan bagian dari dinamika politik. Namun, ia berharap segala perdebatan mengenai simbol dan istilah perlu dikurangi di kemudian hari.

Debat istilah ini bukan hanya soal tampang Boyolali dan politik genderuwo. Sejak kampanye dimulai pada akhir September lalu, sejumlah istilah atau slogan sudah menghampiri publik dari kedua kubu. 

Cawapres nomor urut 02 Sandiaga pernah melontarkan istilah tempe setipis ATM dalam konferensi pers. Pernyataan tersebut keluar atas respon terhadap ibu-ibu di pasar yang terpaksa memperkecil ukuran tempe lantaran mahalnya harga kedelai. 

Sebelum mengeluarkan ungkapan politik genderuwo, Jokowi juga pernah meramaikan persaingan pilpres dengan politikus sontoloyo. Sementara baru-baru ini, cawapres KH Ma'ruf Amin mengeluarkan pernyataan 'buta-budek' yang diarahkan kepada orang-orang yang kerap mengkritik kinerja Jokowi. 

Masyarakat perangi ketakutan

photo
KH Ma'ruf Amin (ANTARA)

Kiai Maruf menjelaskan maksud istilah politik genderuwo yang dilontarkan Jokowi. Ia mengatakan istilah tersebut sebagai sebuah upaya mengajak masyarakat untuk memerangi para politisi yang menyebar kabar ketakutan. 

"Dalam membangun komunikasi politik jangan menakut-nakuti itu seperti genderuwo jadi maksudnya itu kan ungkapannya itu bukan memberi optimisme tapi seperti memberi rasa takut,” kata Ma’ruf di salah satu acara deklarasi pendukungnya di Jakarta Pusat, Sabtu (10/11).

Karena itu, Kiai Ma’ruf menjelaskan, politik genderuwo dapat ditandai dengan pesan yang sering menakut-nakuti dengan data yang tak benar. Menurut Kiai Maruf jika ada politisi yang menyebar data menakutkan dan tidak bisa ditelusuri kebenarannya, maka itu adalah politisi genderuwo.

Kiai Ma’ruf menjelaskan, seharusnya politisi menyebar isu yang optimistis bukannya menyebar isu-isu pesimis. Kiai Ma’ruf mengatakan yang harus disebar adalah isu-isu dan nilai-nilai optimis.

“Nilai Pancasila, nilai kekeluargaan, kebersamaan, solidaritas, itu hal yang harus kita jaga,” kata Ma’ruf. 

photo
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengendarai motor custom menuju pameran Komunitas Kreatif, di Jalan Braga, Kota Bandung, Ahad (11/11). (Republika/Edy Yusuf)

Jokowi juga menjelaskan hal serupa. Menurut capres bernomor urut 01 itu,  sebagai bangsa memang semua harus waspada dengan ancaman dan tantangan. 

"Kewaspadaan itu harus dibarengi dengan membangun kekuatan diri bukan dengan merusak kekuatan sendiri," katanya. 

Karena itu, Jokowi menyesalkan adanya sumber ketakutan yang justru berasal dari dalam negeri yang menakut-nakuti anak muda. "Ada yang menakut-nakuti rakyat kita sendiri. Bangsa lain saja takut kepada anak muda kita, lho kok justru dari dalam negeri yang menakuti anak muda kita," katanya.  

Jokowi mengatakan potensi besar anak muda Indonesia hanya bisa muncul dan membesar atau berkembang jika didukung oleh ekosistem yang kondusif dan penuh dengan optimisme. "Kita yakin terhadap Indonesia yang maju,  bukan Indonesia yang gelap, apalagi Indonesia yang bubar," kata Jokowi. 

Menurut dia,  semua harus membuat anak muda percaya diri bukan ditakuti. Anak muda harus kita beri  ekosistem yang mendukung, memfasilitasi daya kreasi agar anak muda mempunyai keberanian dan optimisme meraih cita-cita.  

"Inovasi dan kreativitas harus melambung tinggi dan membawa Indonesia maju," katanya.

Di sisi lain, Jokowi berkeyakinan generasi muda Indonesia tidak akan takut dengan adanya politik genderuwo untuk menakuti masyarakat. "Yang kita butuhkan adalah narasi dan suasana kepemimpinan yang menumbuhkan keberanian, bukan narasi yang menakut-nakuti,  bukan politik 'gendruwo' yang menebarkan ketakutan, anak muda kita pasti tidak akan takut dengan itu. Saya meyakini itu," kata Jokowi.

Ia mencontohkan adanya bom di Jalan Thamrin Jakarta beberapa tahun lalu merupakan upaya menakut-nakuti rakyat Indonesia. "Kita lawan dengan keberanian, Indonesia tidak takut,  suasana ketakutan dan pesimisme harus dijauhkan dari kehidupan anak muda," katanya. 

Genderuwo berwujud hukum yang tak netral

photo
Sudirman Said

Anggota BPN Prabowo-Sandiaga, Sudirman Said, mengatakan genderuwo ini segala sesuatu yang tidak nampak, tetapi dirasakan menakutkan. Karena itu, genderuwo bisa berasal dari mana saja. 

BPN menyebut Genderuwo hukum bisa datang dari berbagai kalangan, utamanya aparat keamanan, penegak hukum, dan aparat intelijen.

“Kemarin Pak Sandi bicara genderuwo ekonomi, tapi jangan lupa ada genderuwo hukum juga, orang-orang yang harusnya netral (pada Pilpres) kemudian menggunakan kewenangannya untuk menekan," kata dia usai Deklarasi Sukarelawan Prabowo-Sandiaga se-eks Keresidenan Semarang di Hotel Muria Kota Semarang, Ahad (11/11).

Sudirman mengaku ingin mengingatkan bahwa pemilu akan memiliki hasil yang baik kalau aparat, baik aparat keamanan, penegak hukum, dan intelijen netral. “Kami itu pemberi warning, juga memberi semangat pada masyarakat," ujarnya.

Karena itu, Sudirman meminta aparat untuk hati-hati dengan sikap-sikap seperti itu. Sebab, sikap genderuwo bisa dilakukan oleh siapapun, bukan hanya di bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi, serta penegakan hukum.

"Demokrasi akan sehat jika aparat negara netral. Hukum dan intelijen harus digunakan untuk kepentingan negara, bukan kepentingan kelompok atau kandidat tertentu," tegasnya.

photo
Drajad Wibowo

Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Drajad Wibowo, mengaku heran dengan pernyataan Jokowi yang akhir-akhir ini. Setelah mengeluarkan pernyataan "politisi sontoloyo", saat ini melontarkan "politik genderuwo". 

Ia pun mengajak pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, berdebat terkait hal-hal substantif daripada melontarkan pernyataan yang aneh-aneh. Ia menilai pernyataan-pernyataan aneh tersebut tidak produktif.

"Saya ingin mengajak Jokowi dan timnya debat secara substantif daripada melontarkan istilah-istilah yang aneh-aneh seperti sontoloyo dan politik genderuwo," kata Drajad di Media Center Prabowo-Sandi, Jakarta, Jumat (9/11).

Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi, Eddy Soeparno, mengaku tidak merasa tersinggung dengan pernyataan Jokowi terkait "politik genderuwo". Dia meyakini apa yang disampaikan Jokowi itu dalam kapasitas beliau sebagai seorang negarawan yang menghendaki pemilu itu teduh. 

Akan tetapi, di tingkat masyarakat bawah, jangan sampai ucapan Jokowi itu dipelintir. "Justru pernyataan tersebut dijadikan diskursus baru di mana ada politikus-politikus yang kerjanya hanya memperuncing, memperkeruh suasana," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement