Senin 12 Nov 2018 21:01 WIB

Myanmar Sebut Siap Terima Kepulangan Pengungsi Rohingya

Pengungsi Rohingya masih dilanda kecemasan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah pengungsi Rohingya beristirahat di tempat penampungan sementara di New Delhi.
Foto: AFP
Sejumlah pengungsi Rohingya beristirahat di tempat penampungan sementara di New Delhi.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Para pejabat Myanmar mengatakan siap menerima kepulangan lebih dari 2.200 pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Proses repatriasi dijadwalkan dilaksanakan pada Kamis (15/11).

Menteri Kesehahteraan Sosial dan Permukiman Kembali Myanmar Win Myat Aye mengatakan terjadi atau tidaknya proses repatriasi bergantung pada negara lain. Dalam konteks ini, dia merujuk kepada Bangladesh.

"Tapi kita harus siap dari pihak kita (untuk proses repatriasi). Kami telah melakukan itu," ujar Win Myat Aye pada Ahad (11/11).

Menurutnya persiapan telah dilakukan untuk menyambut kepulangan sekitar 2.251 pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Nantinya mereka akan diangkut menggunakan perahu dan ditempatkan di dua pusat transit.

Setelah pengangkutan gelombang pertama selesai, 2.095 pengungsi Rohingya lainnya dapat menyusul melalui jalur darat. Seusai diproses pihak berwenang, para pengungsi akan dikirim ke pusat lainnya. Di sana mereka akan ditampung, diberi makan, dan membangun rumah masing-masing melalui skema "uang untuk kerja".

Mereka yang diterima kembali oleh Myanmar akan mendapatkann National Verification Card (NVC). NVC adalah dokumen identitas yang telah ditolak etnis Rohingya karena mendefinisikan mereka sebagai warga asing.

Anggota Bangladesh Relief and Repatriation Commissioner Abul Karam berharap proses repatriasi dapat dimulai pada Kamis, 15 November. "Pemulangan akan bersifat sukarela. Tidak ada yang akan dipaksa untuk kembali," ujarnya.

Kendati demikian, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyerukan Myanmar agar mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk terlebih dulu mengunjungi tempat asalnya atau tempat mereka akan dimukimkan kembali. Hal itu dilakukan agar para pengungsi memiliki penilaian sendiri tentang apakah mereka betul-betul dapat kembali ke sana dengan aman dan bermartabat.

"Pihak berwenang Myanmar harus mengizinkan para pengungsi untuk melakukan kunjungan go and see, tanpa prasangka terhadap hak mereka untuk kembali di kemudian hari," kata UNHCR dalam sebuah pernyataan pada Ahad malam.

UNHCR akan mulai mewawancarai semua pengungsi Rohingya yang telah berada dalam daftar repatriasi. Kendati demikian, juru bicara UNHCR Caroline Gluck mengatakan pihaknya tidak akan memfasilitasi proses repatriasi. Karena pihaknya belum begitu yakin kondisi di negara bagian Rakhine telah aman dan kondusif.

UNHCR pun masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, khususnya jaminan kewarganegaraan mereka, dapat dipenuhi oleh Myanmar. Menurut Gluck, UNHCR belum mengetahui apa yang akan terjadi terhadap para pengungsi bila repatriasi dilaksanakan.

Oli Ahmed, salah satu pengungsi Rohingya di Bangladesh mengatakan, dirinya bersama istri dan anaknya telah tercantum dalam daftar repatriasi. Namun ia mengatakan, namanya dan anggota keluarganya disematkan tanpa bertanya dulu kepadanya apakah dia ingin kembali atau tidak.

"Saya memiliki seorang putri berusia 13 tahun dana namanya ada di daftar itu (repatriasi). Saya merasa sangat tidak aman membawanya ke Myanmar, di mana mereka memperkosa dan bahkan membunuh gadis seusianya," kata Ahmed, dikutip laman the Guardian.

Kekhawatiran dan kecemasan kian membayangi Ahmed karena para pelaku kekerasan terhadap etnis Rohingya belum diadili. Hal itu membuatnya semakin tidak merasa aman untuk kembali.

"Kami akan kembali ke kampung halaman kami sendiri, tapi hanya ketika tempat itu aman," ujar Ahmed.

ACT Distribusikan Bantuan Pangan untuk Pengungsi Rohingya

Terdapat lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya yang kini berada di Bangladesh. Mereka mulai melarikan diri pada Agustus tahun lalu, yakni ketika militer Myanmar menggelar operasi pemburuan terhadap milisi Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di negara bagian Rakhine.

Alih-alih memburu milisi, pasukan keamanan Myanmar justru melakukan serangan membabi buta terhadap warga sipil di sana. Permukiman mereka dibakar dan dihancurkan hingga rata dengan tanah.

Pada akhir Agustus lalu, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine. Dalam laporan itu disebut bahwa apa yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.

Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk pangilma tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB juga menyerukan Dewan Keamanan PBB memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement