Selasa 13 Nov 2018 13:00 WIB

Korban Gempa Sembalun Khawatir Ancaman Musim Penghujan

Curah hujan yang tinggi berdampak pada kondisi masyarakat yang bertahan di huntara.

Seorang anak menangis dipelukan ibunya di Posko pengungsian korban gempa bumi Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (2/8).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Seorang anak menangis dipelukan ibunya di Posko pengungsian korban gempa bumi Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (2/8).

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK TIMUR -- Ancaman bencana alam di musim penghujan mulai melanda korban gempa bumi yang berada di wilayah Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. "Sementara sudah dua kali datang hujan, masyarakat sudah kebingungan mau tidur di mana. Ini yang sekarang menjadi keluhan masyarakat kita," kata Ridwan Hardi, Kepala Desa Timba Gading, Kecamatan Sembalun, Selasa (13/11).

Intensitas curah hujan yang kian meningkat di penutup tahun 2018 ini menambah kekhawatiran korban gempa yang berada di kawasan pengungsian. Yang menjadi kekhawatiran adalah curah hujan yang tinggi akan ikut berdampak pada kondisi masyarakat yang masih bertahan di hunian sementara (huntara).

Dalam dua kali hujan lebat pada dua pekan terakhir ini, jelasnya, genangan air hujan telah melanda kawasan huntara. Genangan air yang masuk ke kawasan huntara sudah di atas mata kaki orang dewasa.

Begitu juga dengan kondisi huntara yang disediakan pemerintah melalui peran BUMN Terpadu. Ridwan Hardi menilai huntara tersebut belum dapat menjawab kekhawatiran masyarakat terkait ancaman bencana alam di musim penghujan. "Karena keterbatasan unit (huntara), jadi tidak bisa menampung secara keseluruhan," ujarnya.

Rasa kekhawatiran juga terlihat dari yang disampaikan Mu'ad. Bapak dua anak ini tinggal bersama orang tuanya di salah satu bilik huntara BUMN Terpadu di lapangan bola Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun. Dia mengatakan bahwa dampak dari hujan terakhir yang turun pada pekan lalu mengakibatkan huniannya tergenang air sampai batas lutut orang dewasa. "Pas itu hujannya tidak lama, cuma lebat. Airnya lumayan masuk ke hunian kami," kata Mu'ad.

Hal itu pun, jelasnya, menyebabkan banyak di antara mereka yang memilih meninggalkan huntara dan kembali ke tenda mandiri dekat rumahnya yang rusak akibat gempa. "Kalau saya, mau tidak mau bertahan di sini. Makanya kemarin pas hujan itu langsung kita yang bertahan (gotong-royong) buat 'got-gotan' biar airnya tidak masuk," ujarnya.

Begitu juga yang disampaikan Ruqiah, ibu tiga anak yang rumahnya tercatat dalam kategori rusak berat di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun. Ibu yang memilih bertahan di tenda pengungsian buatan tim relawan Malaysia dekat rumahnya tersebut menuturkan bahwa hujan lebat yang turun pada pekan lalu mengakibatkan air menggenangi tendanya hingga batas pinggang orang dewasa. "Ini tenda yang dibuatkan orang Malaysia, namanya Rumah Senyum, terbuat dari terpal. Tapi pas hujan kemarin, airnya naik sampai pinggang," kata Ruqiah.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement