REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah merumuskan solusi untuk menekan angka pengangguran lulusan SMK yang masih tinggi. Solusinya terangkum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad menjelaskan, dalam Inpres tersebut menginstruksikan adanya penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri, peningkatan jumlah dan kompetensi industri, peningkatan jumlah dan kompetensi guru, revitalisasi fasilitas dan alat praktik.
"Juga peningkatan uji kompetensi, sertifikasi dan akreditasi, serta peningkatan kerja sama SMK dengan industri," kata Hamid ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/11).
Hamid menambahkan, untuk melaksanakan hal tersebut pada tahun 2017 hingga 2018 Kemendikbud telah menyiapkan sekitar 12 ribu guru SMK dengan keahlian ganda. Selain itu hingga tahun 2024, Kemendikbud juga telah mengusulkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) untuk mengangkat 92 ribu guru SMK menjadi ASN.
"Untuk kerja sama industri, sebanyak 1.500 lebih SMK sudah melakukan kontrak kerja sama dengan industri yang difasilitasi oleh Kementerian Perindusterian dan Kementerian/lembaga terkait," jelas dia.
Hamid mengaku saat ini masih ada beberapa masalah yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Setidaknya, jelas Hamid, ada tiga faktor yang mempengaruhi tingginya pengangguran lulusan SMK.
Pertama, kata Hamid, terjadi oversupply antara jumlah lulusan SMK dengan kebutuhan industri. Lalu kedua persoalan kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan standar industri dan ketiga persoalan usia lulusan yang rata-rata baru 17 tahun.
"Sehingga dia (lulusan SMK) harus menunggu 1 tahun lagi untuk bekerja," ucap Hamid.
Sebelumnya, diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni sebesar 14,7 juta orang atau 11,24 persen.