REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Albertus Patty tidak mempermasalahkan kebijakan Kementerian Agama tentang penerbitan kartu nikah untuk pasangan Muslim. Menurut dia, tidak ada masalah yang berarti dengan kebijakan pencatatan pernikahan umat Kristen yang selama ini berlaku.
“Selama ini kami tidak menemui permasalahan terkait piagam nikah dan tidak ada juga yang mengeluh soal itu maka kami tidak mempermasalahkan tidak berlakunya kartu nikah bagi non-Muslim. Aman-aman saja,” jelas Albertus saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/11).
Albertus menjelaskan, pernikahan umat Islam dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pernikahan umat Kristen dicatat di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Dia menuturkan, setelah pasangan Kristiani menikah maka mereka akan mendapatkan piagam atau sertifikat bahwa mereka sudah diberkati untuk selanjutnya dibawa ke Disdukcapil guna pendataan.
“Selama ini tidak ada masalah kok tentang itu,” kata dia.
Dia juga mengaku tidak keberatan dengan bentuk dari bukti pernikahan, baik berupa kartu, piagam, atau kertas sekalipun. Menurut dia, yang terpenting adalah bukti sahnya sebuah pernikahan, baik di mata agama maupun negara.
“Tidak ada masalah mau bentuknya piagam atau kartu, yang penting ada tanda bukti bahwa sudah menikah,” kata dia.
Sementara itu, Wakil PGI Gomar Gultom mengaku menyayangkan keputusan pemerintah tentang kartu nikah yang hanya berlaku bagi umat Islam. Menurut dia, jika kartu nikah merupakan bagian dari kebijakan pemerintah maka sepatutnya dapat dirasakan oleh seluruh pihak dan tidak bersifat parsial.
“Ini program pemerintah maka seharusnya bisa dirasakan keseluruhan oleh masyarakat, bukan oleh satu golongan saja,” ujar Gomar saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/11).
Dia juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang justru meluncurkan kartu baru, dibandingkan memanfaatkan kartu identitas yang telah ada, seperti KTP-el. Pengintegrasian data dalam satu kartu dinilai lebih efisien dibandingkan harus mencetak kartu baru.
“Saya menyayangkan, kenapa tidak diintegrasikan saja dengan KTP-el karena kalaupun ada kartu nikah jadinya terlalu banyak kartu. Lebih baik disatukan seluruh informasi dalam satu kartu dan itu diterapkan untuk seluruh masyarkat,” jelas dia.
Gomar berpendapat penggunaan KTP-el sebagai kartu terintegrasi juga dapat lebih memudahkan masyarakat sekaligus memangkas anggaran APBN.
Sebelumnya, Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Mohsen mengungkapkan, kartu nikah hanya diberlakukan bagi pasangan beragama Islam. Menurut dia, kebijakan pengadaan kartu nikah merupakan upaya Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Kami tidak melayani kartu nikah untuk non-Muslim jadi Bimas Islam Kemenag ini hanya menyediakan layanan untuk urusan agama Islam,” kata Mohsen saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/11).
Mohsen mengatakan, kebijakan lebih lanjut mengenai diberlakukan atau tidaknya kartu nikah bagi non-Muslim bukan menjadi urusan Bimas Islam Kemenag, melainkan Disdukcapil.
“Non-muslim itu kan di bawah Disdukcapil, jadi saya kira mereka tidak menggunakan itu. Silakan ditanyakan ke Disdukcapil,” jelas dia.