Kamis 15 Nov 2018 13:04 WIB

Pakar Hukum: Membatalkan Perda Syariah Pikiran Konyol

Syariah atau hukum Islam ternyata sudah menjadi hukum positif Indoesia.

Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Foto: repro buku 50 Tahun Indonesia Merdeka
Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, DR Margarito Kamis, mengatakan, adanya sikap dalam pidato salah satu ketua umum partai baru yang ingin membatalkan semua perda bernuansa keagamaan, baik itu perda syariah atau Injil adalah sebuah langkah yang tanpa arah. Selain itu, sebagai cerminan dari sosok yang buta sejarah dan hukum yang telah ada dan berlaku di negara Indonesia sepanjang masa kemerdekaan ini.

"Saya kini menantang yang ngomong seperti itu, tunjukkan bukti secara jelas bahwa perda syariah atau perda bernuansa agama lainnya itu melanggar Pancasila. Saya ingin dengar dan lihat. Saya punya bukti begitu banyak untuk membantahnya. Saya kira pernyataan tersebut pernyataan atau sikap yang aneh konyol, serta tunasejarah,’’ kata Margarito Kamis, kepada Republika (15/11).

Margarito mengatakan, semua orang yang mengenal sejarah pembentukan konstitusi negara paham dan tahu bahwa Piagam Jakarta menjadi dasar adanya Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, semua orang yang paham sejarah dan hukum konsitusi juga pasti tahu apa yang terjadi sewaktu Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 menerbitkan dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945.

“Di sana, secara tegas Bung Karno menyebutkan bahwa Piagam Jakarta yang kemudian menjadi embrio pembukaan konstitusi dengan adanya aturan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi para pemeluknya, itu menjadi landasan semangat kembalinya ke UUD 1945 pada Dekrit Presiden 1959,’’ tegas Margarito.

Akibat pernyataan Bung Karno seperti itu, ungkap Margarito, semua ormas Islam pun setuju dengan dekrit presiden, termasuk Nahdlatul Ulama. Mereka sepakat dengan semangat Bung Karno tersebut. “Nah, Mudah-mudahan NU kini jelas bersikap seperti generasi pendahulunya yang menjiwai semangat tersebut,’’ kata Margarito.

Selain itu, lanjutnya, ‘hukum syariah’ itu pun sudah berlaku sekarang. Ini seperti UU Perkawinan, UU  Bank Syariah, Kompilasi Hukum Islam, UU Zakat, dan lainnya. Untuk agama lain yang terkait juga ada di tempat lain, misalnya, Bali. Jadi, tunjukkan di mana aturan syariah atau perda bernuansa agama bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Saya ingin sekali lihat fakta keras mereka seperti apa,’’ tegas Margarito.

Sementara, penulis sejarah dan mantan staf perdana menteri Natsir dan staf ahli Wakil Presiden Hamzah Haz, Lukman Hakim, mengatakan segala hal yang muncul sekarang itu terjadi akibat generasi muda mulai tak paham sejarah. Sebab, ada fakta yang lain, terkait rumusan dekrit presiden, yakni arsip mengenai isi notulen mengenai perdebatan Presiden Sukarno ketika hendak merumuskan dekrit itu.  Dan fakta tersebut berasal dari notulen rapat dari Perdana Menteri Juanda.

"Ada dialog resmi tertulis dari anggota DPR kala itu kepada Perdana Menteri Djuanda. Ini terdokumentasikan lengkap dalam buku Mayor Moh Said, Pedoman Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, buku ini tanpa dilengkapi tahun terbit,’’ ujar Lukman.

Lalu, apa isinya? Lukman menjawab kala itu pihak yang bertanya memang adalah anggota DPR dari Perwakilan Partai Nahdlatul Ulama (NU) KH A Sjaichu (NU).’’Kiai Sjaichu bertanya kepada perdana menteri Djuanda mengenai arti "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dengan konstitusi”.’’

Atas pernyataan itu, lanjut Lukman Perdana Menteri Djuanda menjelaskan, itu artinya berarti terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat diberi makna Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Pengertian itu juga termasuk terhadap Pasal 29 ayat (1).

‘’Maka kata Djuanda, dengan pengertian itu, syariat Islam dapat dimasukkan ke dalam undang-undang dan tidak boleh ada satupun undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam,’’ tegas Lukman Hakiem.

Imbas dari jawaban perdana menteri tersebut, Lukman menyatakan, maka fraksi partai Islam di DPR (Masyumi, NU, PSII, PERTI, dan PPTI) dapat menerima Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 22 Juli 1959 mereka secara aklamasi di DPR menerima Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

‘’Maka cermat, hatilah-hatilah akan fakta sejarah dan hukum positif di Indonesia. Kalau tak paham, akan ngawur jadinya. Generasi muda perlu tahu itu. Membatalkan semua aturan yang bernuansa syariah atau agama itu perbuatan konyol,’’ tegas Lukman Hakiem yang juga mantan anggota DPR itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement