Kamis 15 Nov 2018 15:44 WIB

BI Sebut Ekonomi Sumbar Berisiko Melambat Tahun 2019

Ekspor Sumbar masih bergantung pada komoditas CPO dan karet.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Buruh tani melakukan penyadapan getah dari pohon karet di perkebunan Desa Gandasoli, Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (5/12). Tiga produsen karet terbesar di dunia yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia berencana membatasi ekspor karet yang bertujuan untuk menaikan harga komoditas karet di pasaran dunia.
Foto: Raisan Al Farisi/Antara
Buruh tani melakukan penyadapan getah dari pohon karet di perkebunan Desa Gandasoli, Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (5/12). Tiga produsen karet terbesar di dunia yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia berencana membatasi ekspor karet yang bertujuan untuk menaikan harga komoditas karet di pasaran dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumatra Barat menyebut ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut pada 2019 mendatang. Hal ini disebabkan belum adanya diversifikasi produk unggulan ekspor Sumbar yang masih bergantung pada komoditas minyak kelapa sawit (CPO) dan karet. Padahal harga kedua komoditas tersebut diproyeksikan belum stabil dalam dua tahun mendatang.

"Sumbar terlalu bergantung pada dua komoditas itu. Dengan ekonomi dunia yang belum pulih, maka permintaan atas CPO dan karet juga belum akan melonjak tinggi. Nah yang kami khawatirkan adalah ekonomi Sumbar melambat bila ekspor kedua komoditas tersebut tidak stabil," kata Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi BI Sumbar, Bimo Epyanto, di sela pelatihan wartawan di Yogyakarta, Kamis (15/11).

Sebetulnya, lanjut Bimo, kinerja ekspor Sumbar pada kuartal III 2018 sudah menunjukkan perbaikan. Komponen ekspor mampu tumbuh paling tinggi sebesar 8,41 persen setelah sempat mengalami kontraksi pada kuartal sebelumnya.

Namun Bimo mengaku ragu bahwa kondisi ini akan bertahan secara menerus hingga tahun 2019 mendatang, atau justru malah kembali menunjukkan pertumbuhan negatif. Menurutnya, kondisi pasar dunia, khususnya untuk produk CPO dan karet, masih bergantung pada perbaikan iklim ekonomi dunia. Selama ekonomi dunia belum pulih, menurutnya akan sulit bagi produk CPO dan karet untuk kembali menjadi primadona.