REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menganalisa ujaran politisi sontoloyo dan politik genderuwo yang diucapkan calon presiden pejawat Joko Widodo. Menurutnya, ujaran tersebut sebagai bukti protesnya Jokowi terhadap situasi politik.
Hamdi menilai ada makna keresahan dalam pernyataan Jokowi. "Politisi menurut Jokowi enggak ada etika politik yang buat demokrasi elegan," katanya dalam diskusi di kantor Public Opinion and Policy Research (populi center) pada Kamis, (15/11).
Hamdi menerangkan ujaran dari Jokowi disebabkan keresahan usai dihajar bertubi-tubi oleh isu SARA dan hoaks. "Bermula dari keluhan Jokowi sering serangan ke dia sejak 2014. Bertubi-tubi, dia mulai agak protes sampai keluar istilah itu," ujarnya.
Ia menambahkan, ujaran Sontoloyo dan Genderuwo Jokowi tak secara tegas mengarah pada siapa. Akan tetapi, dia menilai, publik sudah bisa menebak aktor yang dimaksud Jokowi.
Ia menyatakan Jokowi tetap berpolitik secara santun dengan tak menunjuk langsung politisi sontoloyo dan genderuwo yang dimaksud. Kendati demikian, semua politisi menurutnya wajib was-was atas ujaran Jokowi.
"Bisa protes atau warning atau kode keras jangan politik kita kayak gitu," ucapnya.
Dari komunikasi politik Jokowi selama kampanye ini, ia menyimpulkan Jokowi sebenarnya ingin kampanye diwarnai perang gagasan "Coba adu program. Kritik dengan data benar, masyarakat dapat pendidikan politik bagus," sebutnya.
Di sisi lain, Hamdi berpendapat, wajar kampanye pemilihan presiden diwarnai jargon politik. Publik pun bisa bereaksi macam-macam atas jargon tersebut.