Kamis 15 Nov 2018 17:55 WIB

Pengamat: Perang Diksi Belum Efektif Gaet Swing Voters

Kampanye Pilpres 2019 sudah berlangsung sekitar 1,5 bulan.

Red: Andri Saubani
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto menilai perang diksi yang disampaikan para pasangan capres-cawapres belum efektif dalam menggaet massa mengambang atau swing voters. Kampanye pilpres yang sudah berlangsung selama 1,5 bulan ini juga dinilai tidak bermutu.

"Selama 1,5 bulan kampanye ini belum efektif garap swing voters karena baru meneguhkan suara pada pemilih yang sejak awal kecenderungan pada Jokowi dan Prabowo," kata Gun Gun usai diskusi bertajuk "Perang Diksi Antar Kandidat" di kantor Populi Center, di Jakarta, Kamis (15/11).

Gun Gun mengatakan, banyak masyarakat tidak peduli dengan pernyataan seperti 'politik genderuwo', 'politisi sontoloyo', hijrah kecuali mereka yang ada di dalam barisan pasangan calon. Gun Gun mencontohkan, pemilih yang berafiliasi pada Prabowo melihat 'tampang Boyolali' konteksnya bukan bullying namun kritik sosial atas ketimpangan di masyarakat.

"Lalu di kubu Jokowi menilai kata-kata hijrah itu positif, dan 'politik genderuwo' harus dilihat isinya," ujarnya.