Kamis 15 Nov 2018 20:18 WIB

Buka Hutan, Masyarakat Adat Minta KLHK Cabut Izin Perusahaan

Bagi masyarakat adat Papua dan Papua Barat tanah adalah sumber kehidupan.

Rep: Priyantono Oemar/ Red: Gita Amanda
Sigit Nugroho, kasubdit Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan KLHK menerima petisi dari masyarakat adat Papua, di KLHK, Rabu (14/11). untuk berita Masyarakat adat papua barat minta klhk cabut izin perusahaan yang buka hutan.
Foto: Humas KLHK
Sigit Nugroho, kasubdit Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan KLHK menerima petisi dari masyarakat adat Papua, di KLHK, Rabu (14/11). untuk berita Masyarakat adat papua barat minta klhk cabut izin perusahaan yang buka hutan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi masyarakat adat Papua dan Papua Barat, tanah bukan hanya hak ekonomis, melainkan juga ibu bagi mereka. Tanah beserta hutan adalah sumber kehidupan mereka. Maka, ketika tanah mereka diambil pihak lain, mereka perlu berjuang mempertahankannya.

''Itu tanah kami, kami ingin tanah kami dikembalikan,'' ujar Semuel Ariks tokoh masyarakat dari salah satu marga di suku Mpur di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, di kantor Walhi, Jakarta, Kamis (15/11).

Semuel bercerita, ada enam marga di masyarakat adat Kebar di Tambrauw, yaitu Amawi, Wasabiti, Wanimeri, Arumi, Kebar, dan Ariks. Mereka mendiami Lembah Kebar. Tanah adat mereka seluas 2.000 hektare hak guna usahanya sudah dipunyai oleh perusahaan, dari rencana 19.300-an hektare. Lahan 19.300-an hektare itu diapit gunung. ''Kalau sudah dibuka semua, tak ada lagi wilayah bagi kami,'' ujar Veronica Manimbu, tokoh perempuan suku Mpur, juga di kantor Walhi.

Pada mulanya, pada 2015 perusahaan datang meminta izin untuk tanam kelapa sawit. Mendengar sawit, kata Semuel, warga langsung menolak. Di kesempatan berikutnya, perusahaan mengatakan hendak menanam jagung.

Warga pun tidak keberatan dengan syarat perusahaan memanfaatkan sabana yang ditumbuhi alang-alang. Sabana alang-alang bukan sumber kehiduoan orang Papua. Perusahaan menyatakan hendak uji coba tanam jagung selama tiga tahun. ''Eh, pas kami menyiapkan perayaan Natal Desember 2017, perusahaan buka hutan, habis sudah hutan kami,'' ujar Veronica.

Ada sekitar 300 hektare hutan yang sudah dibabat. Di hutan itu selain ada tanaman obat dan binatang buruan, juga ada pohon sagu, pohon matoa, pohon kayu besi. ''Ulat sagu itu makanan lezat kami, bulan-bulan ini biasanya kami sudah siapkan pohon sagu untuk mendapatkan ulat sagu untuk dimakan di hari istimewa, tetapi sekarang sudah tidak bisa,'' ujar Semuel.

Di awal perusahaan meminta izin, masyarakat diberi uang tali kasih, dari enam marga masing-masing berbeda jumlahnya. Marga Ariks, misalnya, diberi Rp 100 juta. ''Kami tidak tahu apa tujuan pemberian uang itu, setelah kami tahu hutan kami dibabat, kami kembalikan uang itu, tetapi ditolak perusahaan. Perusahaan menitipkan uang itu ke polisi,'' ujar Semuel.

Sebelum ke Walhi, mereka sempat melakukan aksi di perusahaan yang membuka hutan mereka, di Sudirman, Jakarta Selatan. Pada Rabu (14/11) ada juga masyarakat adat Papua Barat yang mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mempersoalkan perusahaan yang membabat hutan mereka.

''Karena ini sudah menyangkut tanah dan hutan kami, maka saya jauh-jauh datang kemari,” kata Bernadus Gilik, salah satu warga dari suku Moi, Sorong, Papua Barat, di kantor KLHK.

Bernadus mengatakan masyarakat tergusur dan kehilangan hasil hutan, seperti sagu dan hewan. ''Kami juga diintimidasi dan mengalami kekerasan karena memprotes perusahaan,'' kata Bernadus.

Di kesempatan ini, Januarius Sedik yang menggagas petisi ''Tolak kebun yang hancurkan tanah adat kami di Kebar, Tambrauw, Papua Barat'' menyerahkan petisi itu. Petisi yang ditandatangani 45 ribu orang di change.org itu diterima Kasubdit Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan KLHK Sigit Nugroho.

Sigit mengatakan KLHK sudah diperintahkan sesuai Instruksi Presiden untuk menunda perizinan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. KLHK juga mengevaluasi kembali perizinan pembukaan lahan yang sudah ada serta akan segera membentuk kelompok kerja.

Sigit mengatakan aspek hukum permasalahan ini sudah diperhatikan dan akan dilakukan pengkajian jika hutan sudah dikembalikan. ''Karena sudah diperintahkan oleh presiden dan sudah ada inpres, mau tidak mau kita akan melaksanakan ini,'' kata Sigit.

Bagi masyarakat adat Papua dan Papua Barat, wilayah adat merupakan tempat tinggal berikut hutan yang menjadi sumber kehidupan. Kepemilikan atas wilayah itu memang tidak memiliki dokumen tertulis yang dikeluarkan negara. Mereka sudah menguasainya jauh sebelum pemerintah ada. ''Batas-batasnya adalah batas alam yang ditetapkan para leluhur kami,'' ujar Kepala Suku Mpur, Paulus Ajambuani.

Paulus menegaskan agar perusahaan menghentikan operasinya dan menghentikan cara-cara meminta backing aparat. ''Saya selaku kepala suku menegaskan jangan ada lagi operasi perusahaan dan dikawal brimob,'' kata Paulus.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement