Jumat 16 Nov 2018 14:01 WIB

Tahanan Pulau Manus Minta Bantuan Pemimpin APEC untuk Bebas

Pulau tersebut merupakan kamp-kamp tahanan imigrasi yang dikelola Australia

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Esthi Maharani
Pulau Manus
Foto: ABC News
Pulau Manus

REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY - Pengungsi yang ditahan di Pulau Manus telah mendesak para pemimpin dunia yang menghadiri KTT Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk membantu pembebasan mereka. Pulau tersebut merupakan kamp-kamp tahanan imigrasi yang dikelola Australia, yang terletak di Papua Nugini.

KTT yang akan dihadiri oleh 21 negara itu akan dimulai pada Sabtu (17/11) di Port Moresby, ibu kota Papua Nugini. Puluhan pengungsi di Pulau Manus telah mendapat perawatan medis menjelang acara berlangsung.

"Kami meminta semua pemimpin yang berpartisipasi dalam KTT APEC untuk memasukkan masalah ini dalam pertemuan Anda, dan menekan Australia dan Papua Nugini untuk membebaskan kami," kata para pengungsi dalam sebuah surat yang dikirim ke media, dikutip Aljazirah.

Australia telah memberlakukan kebijakan yang ketat dan kontroversial untuk menolak para pencari suaka yang tiba di negara itu secara ilegal dengan perahu. Negara itu menahan mereka di fasilitas-fasilitas penahanan di pulau-pulau Pasifik, yaitu Pulau Manus dan Nauru.

"Kami telah ditahan di sini, bertentangan dengan keinginan kami, oleh Pemerintah Australia dan Papua Nugini, di kamp penjara ini selama lebih dari lima tahun," kata surat itu.

Para pengungsi mengklaim mereka telah disiksa oleh Pemerintah Australia dan Papua Nugini. Tujuh di antara mereka telah meninggal karena bunuh diri dan karena kelalaian medis.

PBB telah menyebut kondisi kamp Pulau Manus sangat mengejutkan. Sementara kelompok hak asasi manusia (HAM) menyebut fasilitas penahanan itu sebagai penjara terbuka, yang dirancang untuk memberikan penderitaan pada pengungsi.

Lebih dari 600 pengungsi masih tinggal sementara di Pulau Manus setelah kamp penahanan di pulau itu ditutup tahun lalu. Mahkamah Agung Australia menyatakan kamp itu ilegal dan tidak konstitusional.

Menurut Asylum Seeker Resource Centre, sekitar 1.100 orang saat ini masih ditahan di Pulau Nauru, termasuk 102 anak-anak. Doctors Without Borders (MSF), yang bekerja di Nauru selama hampir satu tahun sampai dipaksa untuk pergi oleh pemerintah bulan lalu. Pemerintah mengatakan situasi kesehatan mental para tahanan telah luar biasa.

UNHCR juga menyerukan evakuasi di kamp-kamp lepas pantai itu, mengingat kesehatan yang semakin memburuk dari mereka yang terkurung di sana. Lembaga PBB itu menekankan bahwa Australia memiliki tanggung jawab terhadap mereka yang mencari perlindungan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement