Jumat 16 Nov 2018 14:43 WIB

Obat Palsu Tewaskan Puluhan Ribu Korban Tiap Tahun di Afrika

Obat palsu mengancam perkembangan sektor farmasi di kawasan Afrika.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Indira Rezkisari
Obat palsu/ilustrasi
Foto: flickr
Obat palsu/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, DAKAR -- Ketika Moustapha Dieng (30) sakit perut pada suatu hari bulan lalu dia melakukan hal yang masuk akal dan pergi ke dokter di kota asalnya, Ouagadougou, ibu kota Burkina Faso, Afrika Barat.

Dokter meresepkan obat malaria. Tetapi biaya obat tersebut terlalu mahal untuk Dieng yang bekerja sebagai seorang penjahit. Dia akhirnya memutuskan pergi ke pedagang kaki lima yang tidak berlisensi untuk membeli obat dengan harga murah.

“Obat itu terlalu mahal di apotek. Saya terpaksa membeli obat-obatan di pinggir jalan karena harganya lebih murah,” kata Dieng seperti dikutip dari Reuters, Jumat (16/11). Beberapa hari kemudian dia dirawat di rumah sakit, karena obat-obatan yang seharusnya menyembuhkannya, justru membuatnya semakin sakit.

Setiap tahunnya puluhan ribu orang di Afrika meninggal karena obat palsu. Sebuah laporan yang didanai oleh Uni Eropa dirilis pada Selasa (13/11) menyebutkan obat-obatan itu terutama dibuat di Cina. Tak hanya itu tetapi juga di India, Paraguay, Pakistan dan Inggris.

Sebagian besar dari obat-obatan palsu dan berkualitas rendah yang dilaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) antara tahun 2013 hingga tahun 2017 ditemukan di sub-Sahara Afrika, kata laporan itu, yang juga didukung oleh Interpol dan Institut Studi Keamanan.

"Pemalsu mengincar negara-negara miskin lebih dari rekan-rekan mereka, negara yang lebih kaya, dengan penetrasi pemalsuan hingga 30 kali lebih besar di rantai pasokan," kata laporan itu.

Laporan itu juga menyebutkan, obat anti-malaria yang palsu menyebabkan kematian antara 64 ribu hingga 158 ribu orang per tahun di sub-Sahara Afrika. Pasar obat palsu bernilai sekitar 200 miliar dolar AS setiap tahun di seluruh dunia. WHO mengatakan, bisnis tersebut menjadi perdagangan barang-barang yang paling berharga yang disalin secara ilegal. Dampaknya tentu merugikan.

Di Nigeria lebih dari 80 anak-anak tewas pada tahun 2009 karena obat gigi berupa sirup yang telah tercemar dengan bahan kimia yang biasanya digunakan dalam pendingin mesin. Hal ini menyebabkan gagal ginjal pada anak-anak.

Untuk Dieng, biaya bisa diukur dalam lebih dari penderitaan sederhana. Rawat inap di rumah sakit membuatnya membayar dua kali lipat lebih banyak dari apa yang akan dia bayar jika membeli obat-obatan di apotek sesuai saran dokter.

"Setelah meminum obat-obatan itu, yang tidak kami ketahui, dia kembali dengan gejala baru. Semua ini telah memperburuk kondisinya," kata perawat Jules Raesse, yang merawat Dieng ketika dia tinggal di klinik itu bulan lalu.

Obat palsu juga mengancam sektor farmasi yang berkembang di beberapa negara Afrika. Salah satunya juga adalah Pantai Gading. Di negara ini obat palsu juga dijual secara terbuka.

Otoritas Pantai Gading mengatakan, bulan lalu pihaknya telah menyita hampir 400 ton obat palsu selama dua tahun terakhir.

Inspektur Kementerian Kesehatan Pantai Gading, Ekissi mengatakan barang-barang yang disita, jika dijual kepada konsumen akan mewakili kerugian bagi industri farmasi yang sah lebih dari 170 juta dolar AS.

"Mereka dianggap lebih murah, tetapi tidak efektif dan paling beracun," kata Direktur Pelaksana perusahaan farmasi Prancis Sanofi sub-Sahara Afrika, Abderrahmane Chakibi.

Tetapi di Pantai Gading, banyak yang tidak mampu berbelanja di apotek, yang sering hanya menyediakan obat-obatan mahal yang diimpor dari Perancis, dibandingkan obat-obatan murah dari tempat-tempat seperti India.

"Ketika Anda tidak memiliki cara lain, Anda dipaksa untuk pergi keluar ke jalan," kata Barakissa Cherik, seorang apoteker di ibukota komersial sisi laguna Pantai Gading, Abidjan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement